Sabtu, 14 Juni 2008

Tak Sesempurna di "Ayat-ayat Cinta"


TOKOH fiksi gampang terkenal. Fachri misalnya, seiring "meledaknya" film Ayat-ayat Cinta, menjelma menjadi sosok idola. Orang pun jadi penasaran, seperti apa sebenarnya kondisi Fachri lainnya, sesama mahasiswa asal Indonesia, khususnya Riau, yang kuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir di kehidupan nyata?

Bgitu fasilitas chatting diaktifkan, muncul pesan singkat bernada tanya. Akhi_Fillah, nama pena pengirimnya. ‘’Assalamualai­kum Ukhti, Khaifa Haluki? Bagaimana kabar Riau sekarang? Siapa saja yang mencalonkan diri jadi Gubernur Riau tahun 2008?".
Nama lengkap pengirim pesan ini Hermi Faisal Bin Hasan Kasim (22), mahasiswa Al-Azhar Mesir asal kecamatan Sungai Apit, kabu­paten Siak, Riau. Ia duduk di tingkat 2 jurusan Arabic and Islamic Study Universitas Al-Azhar. Pekanbaru Pos mewawancarainya menggunakan fasilitas internet, yang juga dilengkapi earphone, yang memungkinkan penyampaian pesan suara. Persis telepon.

"Saya senang sekali bisa menceritakan bagaimana kehidupan dan keseharian mahasiswa Riau yang sedang menuntut ilmu di Al-Azhar Mesir. Alhamdulillah, suatu kehormatan bagi kami disini bisa saling berbagi cerita dengan saudara-saudara kami di Riau," suara Hermi dari seberang. Bening dan terdengar jelas.

Hermi pun berkisah. Di Al-Azhar Mesir, jumlah anak Riau yang sedang menuntut ilmu di negeri Umul Bilad (Ibunya pengetahuan, ungkapan yang sering disematkan pada Mesir, red) berjumlah sedi­kitnya 167 orang dari sekitar 4.000 mahasiswa Indonesia lainnya.

Berasal dari 11 kabupaten/kota, mereka tergabung dalam organi­sasi Kelompok Study Mahasiswa Riau (KSMR). Bersama mereka juga bergabung 10 perwakilan mahasiswa dari Kepulauan Riau. Berjauhan dengan keluarga, jelas bukan hal yang mudah. Untungnya, sesama perantau penuntut ilmu di sana, kerap terjalin hubungan seperti layaknya perkerabatan, persaudaraan.

Mencuatnya film Ayat-ayat Cinta, juga sampai ke telinga mere­ka. Bangga juga karena tokohnya adalah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Kairo, sama seperti mereka. Sayangnya, tak seperti di tanah air, mereka jelas tak mungkin berbondong-bondong ke bioskop. Selain tidak lazim, apa iya film kita diputar di sana?

"Disini sulit mencari tempat hiburan, apalagi bioskop. Pergau­lan antara Banin (laki-laki,red) dan banat (perempuan, red) ada batasannya. Banyak tabunya. Ya seperti di film itulah. Disini aura ajaran Islamnya sangat kuat. Meski tidak se-ekstrem Afganistan," jelasnya.

Kendati belum melihat secara utuh film yang dibintangi aktor Fedi Nuril tersebut, ada nada bangga saat Hermi menceritakan, sang pengarang novel yang difilmkan itu, Habbiburrahman El Shira­zy baru saja mengunjungi mahasiswa Indonesia di sana.

Menurutnya, sang pengarang sudah sering melakukan itu. Namun kedatangnnya pada awal Februari 2008 lalu khusus diundang PPMI dan KBRI Kairo, sebagai salah seorang pemateri untuk mengajarkan tentang trik dan cara menulis novel best Seller.

"Beliau kan alumni Al-Azhar juga. Orangnya sederhana. Beliau berbagi pengalaman tentang cara menulis novel best seller. Ya Ayat-ayat Cinta itu jadi contohnya. Hampir seluruh mahasiswa Indonesia disini sudah membaca novel tersebut. Kalau filmnya belum. Sudah pun, paling dari internet saja,"katanya.

Soal film yang kini kinclong itu, apalagi dengan latar belakang apa yang kini mereka lakoni, mereka apresiasi dengan rasa syukur, bahwa akhirnya ada film kita bernuansa Islam yang jadi tontonan laris di Indonesia.

"Jelas kalau dibandingkan antara film dan kehidupan nyata, kami yang sedang kuliah di Al-Azhar Mesir tidaklah sesempurna Fachri di Ayat- ayat Cinta," ujar Hermi. Kali ini dari alat kecil yang jadi pengeras suara, terdengar suara tawa yang sangat lepas.

Diakuinya, pada beberapa bagian film, memang ada yang menggam­barkan tentang kehidupan nyata. Salah satunya, latar kehidupan yang panas dan gersang ditambah dengan padatnya kota.

"Disini, kotanya sangat padat sekali. Dihuni tak hanya pendu­duk asli, pendatang juga banyak. Di mana-mana, mobil-mobil tua tetap digunakan. Pasar-pasarnya juga rapat. Macet sudah menjadi keseharian. Yah, persis seperti Fachri di film tersebut, kami lebih mengandalkan berjalan kaki pergi ke kampus,"ujarnya.

Dalam kesehariannya, mahasiswa asal Indonesia memang sebagian besar terkendala soal bahasa. Kendati berlatar pendidikan pesan­tren, mahasiswa Indonesia yang baru saja menempuh pendidikan di Al-Azhar Mesir harus ekstra melakukan penyesuaian.

"Tidak seperti di film yang kadang bercampur bahasanya, disini semuanya berbahasa Arab. Dosen mengajarnya juga pakai bahasa Arab. Kendalanya, mahasiswa Indonesia biasanya menguasai bahasa Arab Fusha, yang biasa dipakai di pesantren-pesantren. Di sini pengajarnya lazim menggunakan bahasa Arab Ammiyah," jelasnya.

Satu yang membanggakan, kata Hermi, masyarakat Mesir dalam kesehariannya sangat menghormati mahasiswa asal Indonesia, apalagi yang tinggal di pelosok Kairo. Bila ada yang mengalami kesusa­han, tak jarang mereka jamu di rumah-rumah mereka. Bahkan bebera­pa mahasiswa Riau, selalu mendapatkan sembako gratis dari berba­gai lembaga sosial, dermawan Mesir dan penduduk tempatan.

Dengan nada lebih pelan, Hermi menceritakan, bagi beberapa mahasiswa yang telat mendapatkan kiriman dari tanah air, roti gratis ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu setiap hari. Hal ini pernah dialami oleh mahasiswa asal kabupaten Bengkalis yang sedang belajar di Provinsi Tafahna.

"Aiys (roti,red) ini lumayan jugalah untuk hemat belanja. Dan setahu kami, masyarakat Mesir menghormati mahasiswa Indonesia karena mereka tahu bahwa Indonesia adalah Akbaru Bilad Moslem Fil'Alam (negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, red).

Mahasiswa Indonesia juga dikenal karena keramahan dan sopan santunnya. Alhamdulillah, berkat itu pula, mahasiswa Indonesia khususnya Riau sangat diterima disini," kata Hermi.

Jumlah mahasiswa 4.000 orang ini menciptakan Indonesia "­mungil" yang kerap berhimpun, diskusi dan silaturahim. Tak jarang antara mahasiswa per-provinsi mengadakan even budaya hingga lomba olahraga.

"Baru saja ada Sumatera Cup, Alhamdulillah Riau dapat pering­kat ketiga. Insyallah tahun depan kita sabet juaranya. Selain olahraga, kita juga sering mengadakan pertunjukan budaya. Kami biasanya menampilkan pantun, puisi, sampai tari zapin,' ' ujar Hermi, kali ini dengan nada bangga.

Dibanding mahasiswa provinsi lainnya, diakui Hermi mahasiswa Riau memang punya beberapa kendala. Tak punya peralatan musik khas melayu, membuat mereka hanya mampu menampilkan Tari Zapin hanya dengan mengandalkan musik dari kaset saja.

"Lagu favorit yang sering jadi lagu pengiring zapin, adalah lagunya Iyeth Bustami. Itu pun kami dapatkan setelah menitip sama teman yang libur ke Riau. Kalau mahasiswa Aceh atau Jawa, mereka lengkap peralatan musiknya. Beitu pun, kami tetap bersyukur dan bangga bisa menampilkan kebudayaan melayu di negeri orang. Kami juga bangga menyanyikan lagu Lancang Kuning di sini," jelas Hermi, seraya tertawa.

0 komentar: