Sabtu, 26 Juli 2008

Baca Selengkapnya->

Sabtu, 19 Juli 2008

Merindukan Kematian

Hari ini, aku sesaat terpekur. Sedikit terkesima dengan apa yang terpampang didepan mataku. Mungkin ini suatu hal yang biasa, tapi entah kenapa miliki makna yang sangat berbeda hari ini. Aku seolah tersadar dari mimpi dan tersentak hebat. Di depan mataku, sebuah keranda mayat, berbalut bunga melati putih dan ditutupi kain berwarna hijau dengan tulisan La Illa Hailla Allah. Didalamnya, terbaring jenazah seorang muslimah yang siap untuk disholatkan. Ya Rabb, betapa hatiku bergetar merindukan kematian dan menuju kearahmu…andai saja ku bisa tahu apa takdirmu untukku. Tentu aku tak akan jenuh tinggal dibumi mu yang penuh ketidakpastian ini

Mesjid kampus Unri sudah jadi langganan tempat sholatku. Baik ketika kuliah atau hanya sekedar numpang saja kalau terjebak dijalan. Siang itu, saat hendak melaksanakan sholat Dzuhur, mendadak aku terpaku didepan pintu masuk mesjid. Tidak ada yang aneh, sungguh sama sekali tidak ada! Satu-satunya yang beda dari mesjid kampusku hari ini, hanya keranda mayat di pojok kanan itu. Sebenarnya sama sekali tidak ada alasan, untuk aku takuti keranda itu, toh itu hanya sesosok jenazah muslimah yang baru saja meninggal tadi pagi (Semoga Allah swt mengampuni dosanya, amin). Namun entah mengapa, meski bukan yang pertama kali, hari ini keranda itu seolah menyimpan aura yang beda, teramat beda untuk kuungkapkan dengan kata-kata.

Untuk beberapa detik, berjuta pertanyaan bermain dalam alam khayalku. Apa rasanya andai aku yang menjadi jenazah dalam keranda itu? Gelapkah? Dinginkah? Menakutkan? Sedihkah? Apakah aku bisa melihat orang-orang yang menangisiku? Apakah aku dijaga malaikat? Benarkah aku mampu berada didalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menahan langkahku di pintu masuk mesjid. Aku benar-benar mengkhawatirkan banyak hal. Ada ketakutan, apa benar kematian itu menyakitkan? Apa benar hidup sesudah mati itu ada? Apakah aku sanggup untuk mati? Padahal sudah hampir tiga bulan aku tak pernah memegang Al-Quran karena kesibukanku..ah, bukan kesibukan, aku hanya sok sibuk saja. Ya Rabbi…sudah berapa lama aku jauh darimu. Sungguh mendadak aku merasa betapa jauhnya kini Engkau dengan raga dan jiwaku yang tak tahu malu ini.

Siapapun jenazah didalam keranda itu, sungguh dia telah berbuat amal jarizah padaku. Hari ini, kembali aku ingat akan kematian. Menyadarkan ku bahwa hidup bukan hanya ambisi untuk kerja dan memasukkan bola biliar dalam enam lubangnya saja! Kematian itu sungguh nyata, sementara aku teramat terlena akan dunia. Padahal sungguh kematian itu suatu keindahan. Keindahan yang menghapus pupus semua kerinduan..rindu bertemu dengan sang khalik. Hari ini…sebagai hambamu yang lemah dan hina, maafkan aku ya Rabbi…Ya Rahman..Ya Rahiim…

Seharusnya aku dituntut untuk banyak mengingat mati. Karena dalam ‘’karyaMU’’ Al-Quranul Karim, menyebutkan bahwa hati orang yang tenggelam dalam urusan duniwi, mengejar kesia-siaannya, dan menghambakan cinta kepada kenikmatannya yang palsu, akan lalai dari mengingat maut. Sikap lalai yang dilakukan oleh orang banyak terhadap kematian adalah akibat kurangnya perenungan dan ingatan terhadapMU. Padahal, dalam ayat MU Engkau telah berfirman: "katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu". (Q.S. Al Jumu’ah (62): 8).

Bagaimana aku mau lari kegunung? Atau sembunyi didalam bungker yang dalam? Kalau mati itu tidak pernah mengenal tempat! Apa mungkin aku menunda waktu, padahal kematian pasti datang, tidak lebih sedetik pun, dan tidak kurang sedetikpun! Aku bisa mati kapan saja, dimana saja, bagaimana saja, oleh siapa saja! Aku benar-benar dituntut harus siap untuk mati!

Betapa lalainya aku, padahal menurut para pakar, dalam Al-Quran, perihal kematian bahkan dibicarakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat. Tapi kenapa tidak satupun menyadarkan aku beberapa waktu ini. Mengapa tidak ada yang menyadarkan, bahwa bisa saja jenazah yang ada didalam keranda mayat yang akan disholatkan di Mesjid Kampusku hari ini, itu adalah AKU!

Pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku masih ingat waktu ibuku bercerita, bahkan kekasih Allah swt, Nabi Muhammad Saw, manusia yang paling disayangi Allah swt, manusia yang mendapat kemuliaan, dikisahkan juga sempat mengkhawatirkan datangnya kematian. Lalu bagaimana dengan aku? Secara kodrati, manusia inginnya hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (Al-Baqarah [2]: 96). Dan ini terekam jadi sejarah kelam manusia saat iblis (Semoga bangsanya terkutuk di neraka, amin) berhasil merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). Begitulah iblis menggoda Adam As

Tidak ada sesuatu yang kekal dalam keyakinanku, selain keindahan dari hidup sesudah mati. Meski juga ada ketakutan, bila aku bukan salahsatu penghuni surga. Meski tak pantas percaya diri, namun aku jujur, selalu bergetar setiap mengingat neraka. Ibuku termasuk pencerita yang hebat ketika mengisahkan tentang siksa neraka, hingga membayangkannya saja aku sudah tak kuasa.
Aku akhir-akhir ini memang terlupa sesaat. Dan jenazah yang akan disholatkan di mesjid kampusku hari ini, kembali mengingatkan ku akan perkataan Socrates. Sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup."

Ulil Amri ku, Rasul Muhammad Saw., bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)."
Lalu Allah swt, kembali mengatakan "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]: 64).
Tak cukup, kembali ditambahkan pula bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77).
Di lain ayat dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan
kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Aku rindu kematian. Rindu padamu ya Allah swt…Andai saja ku mampu jadi hambamu yang taat…Maafkan aku atas semua lalai dan khilafku. Jangan pernah tinggalkan aku..jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun…aku mohon…

Catatan Minggu (19/7) di Pekanbaru

Baca Selengkapnya->

Senin, 14 Juli 2008

Love You Allah SWT


SEBAGIAN orang terdekatku, selalu memasang wajah masam setiap kali aku minta izin untuk berangkat mendaki kepuncak gunung. Kekhawatiran adalah alasan utama. Namun bagiku, izin atau tidak diizinkan, aku selalu coba memahami, betapa kekuasaan Allah swt itu, banyak cara untuk mengenalnya. Alam adalah pembuktian, tentang betapa kerdilnya aku, betapa kerdilnya kita. Love you God...love you Allah SWT.

Dimasa dulu nih, waktu aku masih muda hahahaha, sekarang udah tua dikit...aku selalu menyempatkan diri bersama sahabat-sahabat kuliahku untuk mendaki gunung. Di kota Malang, kalau tidak lagi ada tugas kuliah, tidak terlalu banyak tempat yang bisa jadi bahan percobaan, untuk menenangkan hati yang suntuk.

Terus terang, aku gak terlalu suka mall atau pergi nonton bola ke stadion meski Arema juara Liga Indonesia. Akhirnya, salahsatu tempat yang selalu jadi penenangku adalah Puncak Panderman. Tidak terlalu tinggi kalau dibandingkan gunung Bromo. Namun membutuhkan mental juga untuk sampai ke puncaknya.

Satu hal yang aku suka dari puncak Panderman adalah, menatap matahari terbit dengan malu-malu dari balik awan putih. Aku seperti berada di tengah lautan awan tiada bertepi. Menatap keagungan tuhan, luarbiasa rasanya. Lebih lezat dari es krim dan lebih mengenyangkan dari sepiring soto ayam hehehehe..

Mendaki Panderman, aku belajar menyabari rasa takut, meski teramat takut untuk tetap sabar. Awalnya dulu, waktu pertama datang ke kota Malang, aku hanya menatap puncak Panderman dari lantai dua rumah umi ku. Ada panggilan setiap kali aku menatap puncaknya.

Dan pada pendakian pertama, aku harus merasakan perkenalan yang cukup menyakitkan. Meluncur dari ketinggian dan tersangkut diantara rimbunnya hutan dan bebatuan, adalah kengerian yang mengingatkanku akan kematian. Tapi ini bukan alasan untuk aku jera. Selalu ada pendakian berikutnya, berikutnya dan berikutnya.

Tak pernah ada kata jera, yang ada selalu rasa rindu. kekosongan itu akan terisi dengan sendirinya. Segala keluhku langsung terhapus. Segala resahku lumer membias hilang. Segala kemunafikan hidup, pupus musnah entah kemana. Itulah hebatnya alam, ketika dia memanjakanku dengan segala puja-puji padaNYA.

Aku adalah aku ketika berada disebuah puncak keinginan yang penuh dengan tantangan. Aku adalah aku dengan segala bebasnya. Aku adalah aku dengan segala kekagumanku.Dalam gelap meraba, ditemani bulan yang kadang muncul dengan penuh angkuh, aku tetap berjalan. Dan percaya dengan sahabat, adalah hal terbaik yang pernah singgah dalam pengalamanku. Gelap bagi kami adalah kesadaran, bahwa dunia ini tak selamanya penuh cahaya.

Aku selalu merindukan dinginnya malam di atas puncak, menatap kerlap kerlip lampu kota Malang yang terlihat seperti setitik cahaya. Aku rindu berteriak dengan segala keluh kesahku. Aku rindu bertasbih diatas puncak, untuk mengingat semua dosa yang pernah aku lakukan. Betapa rindunya aku padamu ya rabbi...Alam adalah caraku mengenalMU, untuk semua khilaf dan dosaku. Love you Allah swt...

Baca Selengkapnya->

Jumat, 11 Juli 2008

Experience Is Good Teacher



Pengalaman bagiku adalah guru yang terbaik. Dari rasa ingin tahu hingga akhirnya berwujud pada sebuah pembuktian. Bagiku, adalah hal luarbiasa untuk menyelami makna kekuasaan dan keagungan tuhan. Kadang alam lah yang mengingatkan ku bahwa aku bukanlah siapa-siapa.


Hampir empat tahun lamanya, aku merantau ke negeri orang. Kota Malang, salahsatu kota terindah di Jawa Timur, adalah labuhanku untuk menuntut ilmu. Tidak ingin kubiarkan sedetik waktu pun dalam perjalananku, untuk ku sia-siakan. Karena itu, alam adalah pilihan terbaik untuk memberikan yang terbaik dalam catatan sejarahku. Sungainya, gunungnya, lautnya, pantainya bahkan tanahnya, adalah hal yang selalu kurindukan dengan kota Apel ini.

Berkali-kali mendaki dan menjadi tamu di laut dan sungainya yang menenangkan, bersama sahabat-sahabat terbaik adalah pelampiasanku ketika kerinduan pada kampung halaman tak bisa lagi tertahankan. Pada alam aku berteriak. Dan pada alam aku mengadu. Tentang rindu dan semua keluh kesahku.

Baca Selengkapnya->