Kamis, 21 Agustus 2008

Horee..Si Miskin Merajut Mimpi...


Kunanti dengan hati berdegup kencang. Menanti kertas putih itu sampai ditanganku, hatiku makin berdegup kencang. Kubuka pelan, seiring doa, agar tulisan disana tak membuat air mata ayah dan bunda dikampung halaman mengalir sedih. Perlahan kubuka helaian kertas itu…Horeeeee….nilaiku tak mengecewakan. Subhana Allah…Subhana Allah…Alhamdulillah…Si Miskin ini ternyata masih punya nyawa merangkai mimpi…



Melanjutkan kuliah di Strata Dua (S2), mungkin hanya satu dari berjuta impianku. Masih ku ingat jelas, saat kunekat mendaftarkan diri di Universitas Riau (Unri). Waktu itu sebagian gajiku habis dalam sekejap. Tak ada lagi rupiah untuk kukirim ke tangan bunda tercinta.
‘’Kamulah penerus impian keluarga ini nak, lanjutkan…lanjutkan…kami hanya bisa berikan doa,’’ kata Ibuku dari seberang telepon, saat ku kabari aku mendaftar kuliah lagi. Dalam sesak tangisnya yang kudengar tertahan, bundaku yang mulai menua itu, memaafkan aku dengan tulus, tak kirimkan rupiah bulan ini.
Aku terdaftar pada program Pasca Sarjana Ilmu Politik jurusan Manajemen Pemerintahan Daerah, Universitas Riau, tahun ajaran 2007. Dengan uang semester jutaan dan biaya diktat yang mencapai ratusan ribu setiap bulannya, jelas ini langkah nekat mendekati bunuh diri. Aku baru mulai menapak karir, itupun belum pasti terang. Aku masih punya tanggungan tiga adik-adik yang masih harus dibiayai. Aku punya orangtua, yang jauh merasakan hidup surga dunia. Di Pekanbaru, tempatku menapak karir, aku masih ngontrak rumah, kadang telat bayar listrik. Awalnya, aku memang ragu, darimana aku bisa dapat rezeki? Namun sebuah hadist , yang jadi peganganku setelah Al-Quran, mampu merubahku jadi mahluk nekat:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah, selain mereka membaca Kitabullah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmah, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang berlambat-lambat dalam amalannya, niscaya tidak akan bisa dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)
Ada yang bilang, dengan usia belum genap 22 tahun, aku terlalu cepat melanjutkan kuliah lagi. Bahkan ada yang bilang, aku terlalu berandai-andai dalam hidup, bisa-bisa justru tenggelam suatu hari nanti. Entahlah, terlalu banyak memang godaan itu, terlalu banyak sindiran dan pandangan sinis. Semua menggoda, terlebih godaan dari kemampuan finansialku sendiri. Tapi apa boleh buat, inilah jalanku. Inilah pilihanku. Inilah takdirku.

Sesungguhnya, kulanjutkan kuliah dengan beberapa pertimbangan: Pertama, aku percaya, Allah swt tidak akan pernah berdusta. Hanya dengan ilmu lah, aku rajut mimpi bisa mengangkat derajat orangtua dan keluarga ku suatu hari kelak, didunia ataupun diakhirat.“Apabila anak Adam meninggal, maka terputuslah amalnya kecuali tiga, yaitu doa anak yang saleh, amal jariyah dan ilmu yang bermanfaat….”(HR Muslim). Aku bisa beri apa bagi ibu dan ayahku didunia? Mau tak mau, hadist ini aku pegang teguh dalam setiap doa dan usahaku.
Lagipula…bukankah Islam adalah agama yang menghargai ilmu pengetahuan. Bahkan Allah swt sendiri lewat Al Qur’an meninggikan orang-orang yang berilmu dibanding orang-orang awam beberapa derajad.
“Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajad.” (Al Mujadilah: 11)
Pada surat Ali ‘Imran: 18 Allah SWT bahkan memulai dengan dirinya, lalu dengan malaikatnya, dan kemudian dengan orang-orang yang berilmu. Jelas kalau Allah menghargai orang-orang yang berilmu. “Allah menyatakan bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Dia, Yang menegakkan keadilan. Para malaikat dan orang-orang yang berilmu (juga menyatakan yang demikian itu)” (Ali Imran:18)
Allah swt juga menyatakan bahwa hanya dengan ilmu orang bisa memahami perumpamaan yang diberikan Allah untuk manusia. “Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia, dan tiada memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu” (Al ‘Ankabut:43)
Allah swt, juga menegaskan hanya dengan ilmulah orang bisa mendapat petunjuk Al Qur’an. “Sebenarnya, Al Qur’an itu adalah ayat2 yang nyata di dalam dada orang-orang yang diberi ilmu.” (Al Ankabut:49)
Nabi Muhammad mewajibkan ummatnya untuk menuntut ilmu . “ Menuntut ilmu wajib bagi muslimin dan muslimah” begitu sabdanya. “Tuntutlah ilmu dari sejak lahir hingga sampai ke liang lahat.”
Dengan semua inilah, aku semangat mendaftarkan diri kuliah lagi. Semangat dan ikhlas pontang panting mencari uang untuk ‘’bernafas’’ dibangku kuliah yang makin mahal. Aku sering menahan lapar dikampus, saat teman-temanku yang rata-rata PNS dan pejabat, asyik duduk di cafĂ© kampus. Aku sering telat bayar uang administrasi kelas, bahkan terlalu sering dibayari oleh teman-teman yang berbaik hati (kalau tidak merasa kasihan, aku tak perduli hehehe yang penting bayar!). AKu bahkan pernah kuliah dengan uang disaku hanya Rp 1.000. Terkadang aku hanya tertawa sendiri, ternyata betapa luasnya rezeki dan pertolongan Allah swt untuk aku…sang pencari ilmu!
Dan alasan ku yang kedua , berani melanjutkan kuliah lagi adalah, agar adik-adikku punya semangat. Aku tak minta mereka meniruku, namun aku berharap mereka mau merajut mimpi yang sama seperti aku.
Keluarga kami terlalu miskin, hingga sekedar bermimpi saja sudah mulai sulit untuk dilakukan. Ibuku yang hanya pedagang kecil, dan papa yang tak bekerja sejak aku dibangku sekolah dasar, sempat menjadi pembunuh impian kami menjadi ‘’orang kaya raya di dunia’’. Namun, dengan keyakinan Allah swt selalu bersama umatnya yang taat, satu persatu impian kami rajut jadi kenyataan. Kami pun mulai memimpikan ‘’Kaya Raya didunia dan kaya raya diakhirat’’.
Aku bersyukur, saat ini dua foto ‘’Sang Sarjana’’ terpampang di dinding kayu rumahku yang mulai reyot. Foto aku dan abangku. Sebuah mimpi bisa kuliah di pulau seberang (Jawa), adalah kemuliaan nyata yang Allah swt berikan bagi para penuntut ilmu sesuai janjinya. Manalah mungkin rasanya, anak seorang pemilik kantin sekolah dikota kecil bernama Siak Sri Indrapura, bisa kuliah di pulau Jawa??? Tapi kami bisa! Dan kini, tidak satupun adik-adikku yang tidak punya mimpi yang sama. Aku bersyukur..Mencari Ilmu menjadi nafas keluargaku.
Dibalik kuasa Allah swt, aku selalu tak berhenti bersyukur. Dengan tangannya yang mulai berkerut, ibuku tak pernah berhenti berusaha dan bekerja. Dengan badan nya yang mulai bungkuk, dan giginya yang mulai rontok, ayahku tak pernah berhenti membantu ibu mengumpulkan rupiah demi rupiah. Bangun pagi usai sholat Subuh, ibu dan papa tak pernah berhenti bekerja. Hingga malam menjelang, dan kantukku tak bisa dilawan, aku masih ingat, papa terkantuk-kantuk memotong ubi kayu untuk dibuat keripik. Ibu dengan wajah lelah masih menggoreng semua bumbu gulai untuk dijual besok.Ya Rabbi…kapan aku bisa mengajak tubuh-tubuh renta itu hidup senang di surga dunia…Semoga dengan Ilmu aku bisa berikan itu…
Lembaran kertas putih itu makin aku genggam erat. Ada tetes air mata yang tak tertahankan. Hanya ada wajah papa dan ibu, yang tersenyum. Terbayang wajah manis menutupi uban-uban dirambut mereka. AKu ingat perkataan ibuku terakhir saat aku pulang ke Siak. ‘’Nak, kalau saja Kamu dan Irfan (Abangku) sudah kerja mapan, ibu dan papa mau istirahat. Agak capek juga badan ini,’’. Sebagai anak, aku bisa beri apa? Sebagai anak aku bisa beri apa? Sebagai anak aku bisa beri apa? Semoga lembaran kertas putih ini, bisa member sedikit senyum dan menghapus lelah diwajah mereka.
IPK 3,50, tertera tulisan diselembar kertas putih itu. Itulah nilaiku pada semester pertama kuliahku di S2, tadi siang baru sampai ditanganku. Berita yang belum sempat ku kabari kekampung halaman, karena Hp ku lagi tak berpulsa, hanyalah secuil kado yang bisa kuberikan pada papa dan ibu bulan ini, bukan rupiah.
Dua nilai A dan dua nilai B, adalah anugerah dari pontang pantingku. Ada dua tangis saat ini. Tangis bahagia, kuliah dan kerjaku bisa berjalan seiring. Lalu ada tangis ketakutan…takut bila semester depan mimpi kedua orangtuaku terpupus musnah, habis! Biaya kuliah yang nilainya dua kali harga motor bututku, darimana bisa aku dapatkan? Aku harus pontang panting lagi..demi mencari Ridho Allah swt, demi mimpi orangtuaku, dan demi menyemangati adik-adikku yang sedang berjuang. Si Miskin ini akan terus berjuang…meski didepan entah godaan apa yang akan datang.

Baca Selengkapnya->

Rabu, 20 Agustus 2008

Aku, Diriku, Hanya Aku....


Ada yang bilang, aku sosok yang sombong, uhh..tau apa sih mereka tentang aku! Ada juga yang bilang, wajahku seperti orang judes, wah yang ini kebangetan banget. Padahal seumur-umur, hal yang paling aku takuti adalah menyakiti hati orang. Andai saja mereka mau sedikit memahami dan belajar, bahwa tampilan luar tidak akan pernah sama dengan tampilan didalam. Lebih baik jangan sok tau, kalau benar-benar tak pernah mau tahu!!!!


Foto Bersama sahabat-sahabat Kantor...rekan-rekan kerja berjiwa muda...Semangat!!!



Ama Ratna Mahendra..my best friend di kantor dan diruang khusus hua..haha..haha..tanya Ratna..masak sih aku dibilang sombong say...


Menanti Bintang Jatuh or jodoh yang gak sengaja jatuh dari langit...



Nih dia yang namanya Dara Fitria...ehmmmmm...aku nulis khusus aja buat dia..gak cukup disini....maaf..


Waktu di Bandung nih...nyuri waktu ''narsis-narsisan'' diwaktu liputan bareng Gubernur Riau HM Rusli Zainal. Acara Satu Abad Kebangkitan Nasional di Kementrian Pemuda Dan Olahraga Jakarta...




Baca Selengkapnya->

Selasa, 19 Agustus 2008

Tanpamu...Aku Bisa Apa Sahabat?

Ira Yulisa...Kamu adalah pijarku. Tak lelah sinari aku. Dengan keikhlasanmu, jalinan persahabatan ini benar-benar tanpa pamrih. Temani aku tanpa pernah mengeluh. Mengerti dengan semua keluh. Diam dengan semua angkuh. Sabar melebihi sabarku. Tenang dengan semua tingkahku. Menerima semua egoisku. Tak miliki dendam dengan salahku. Aku bisa apa tanpamu sahabatku?

Aku bisa beri kamu apa? selama ini hanya ada keluhan,tingkah dan ulah yang kadang tak berpangkal ujung. Aku bisa beri kamu apa? hanya ada luka dan kadang kegelisaan tak berpangkal batas.Kadang mata hatiku seolah buta, dengan semua pijar yang kau tunjukkan. Tak pergi jauh kau dariku, tapi merayap nantinya sepiku itu. Pada siapa lagi sobat...aku bisa mengeluh, pada siapa lagi sobat...aku bisa meletakkan lelahku.

Kamu adalah tempatku mengadu.Setia dengar semua keluh kesahku. Siapa yang bisa kalahkan sabarmu,ikhlasmu,hatimu padaku. Kuselami samudera itu bertahun-tahun lamanya, tak tenggelam sungguh aku disana.Kamu selalu mengerti untuk hal-hal yang tak kupahami. Kamu adalah manja dan semua bingkai cerita penuh kasih. Bisa apa aku tanpamu?tak ada mereka yang bisa gantikan tempatmu, tak pernah ada sekuat apapun mereka mencoba!Mengherankan...Bagaimana mungkin, tak pernah sekalipun kamu menyakiti hatiku. Bagaimana mungkin, tak sedetikpun aku bosan bila bersamamu. Bagaimana mungkin, aku bisa korbankan waktu hanya untukmu dengan ikhlas. Semua kemustahilan, bersamamu dengan sendirinya berwujud kenyataan. Dan bagaimana mungkin, bisa kutemukan sosok sepertimu dikala kiamat semakin dekat, seperti saat ini. Saat semua kemunafikan berwujud dalam topeng kesetiaan, kamu adalah jawaban!Kucari yang bisa gantikan engkau,namun tak ada senyuman yang tanpa dendam itu dibibir mereka. Tak ada yang serenyah candamu, tawamu, teriakmu dan nada manjamu.

Siapa lagi nanti yang mau perhatian sama aku dengan apa adanya. Bukan ada apanya. Siapa lagi nanti yang akan menasehati aku dengan kata-kata tua. Bukan sok tua. Siapa lagi yang bisa mendengar keluhku tanpa lelah. Kau disana mencari asamu. Sedangkan aku disini dengan juangku...tanpa dirimu.Setiap hari, pastiku terbangun dengan berkata...apa mungkin aku bisa?Waktu pernah coba pisahkan kita, namun tulusmu tak bisa terlangkau jauh. Jarak pernah coba pisahkan kita, namun kekosongan yang sama, adalah tangis kita berdua. Kerinduan, kesepian, ketidaksempurnaan, adalah tembok sama yang membuat kita kembali...pulang!Tanpamu, aku bisa apa sobat. Siapa lagi yang akan kubawa tertawa dengan ikhlas dan tanpa beban. Tanpamu, aku bisa apa sobat. Siapa lagi yang akan kubawa bercanda tanpa sindiran,dendam,kebohongan dan kemunafikan. Kamu yang begitu tulusnya, adalah kamu yang apa adanya.

Kamu yang begitu apa adanya, adalah kesempurnaan yang hanya jadi milikku.Tak ada beban tampil didepanmu. Adalah kemerdekaan dari jajahan tatapan semu yang penuh kemunafikan. Mereka semua, tak pernah bisa lampaui ikhlasmu, tenangmu, tulusmu, apa adanya kamu..semua tentangmu,selama ini tak pernah menyakitiku...tak pernah sekalipun.Tak ada maaf untukmu, karena memang tak ada yang perlu dimaafkan. Berjuta pun ada salahku, kuyakin sudah kau musnahkan. Aku, kamu dan tanpa mereka...kita punya bintang sendiri yang tak mereka miliki. My Twinkle...biarkan itu jadi nyanyian kita berdua. Sampai nanti, sampai mati! Cukuplah kita saja yang mengerti...
20 Agustus, hari ini kuucapkan Happy Birthday My Best Friend...


Foto di Hari Wisuda Ira (Fakultas Perikanan Universitas Riau)..Congratulation!!!

Dia bukan yang pertama
Bukan pula yang terutama
Namun dengan semua kelembutannya
Kesabaran, Ketulusan, Perhatian
Aku dibuat terpekur lama
Ternyata ini yang namanya Persahabatan
Dan dialah yang pertama menggetarkanku
Ketika Memanggilku Twinkle (Bintang)...



Nama lengkapnya Ira Yulisa. Pertama kenal, saat sekelas di bangku SMU. Awalnya, kupanggil dia teman ''dibelakang bangku ku''. Lalu hitungan bulan, kupanggil dia ''teman mengerjakan tugas''. Bulan berikutnya, kupanggil dia ''teman tempat curhat''. Bulan demi bulan terus berlalu. Hingga kuputuskan memanggilnya...Sahabat!
Lebih singkat, gak ribet dan mudah dipahami.
Ditempat sekecil ini, tak cukup kutuliskan tentang siapa dan apa arti Ira bagiku. Karena untuknya, tidak bisa terangkai dalam kata-kata. Mungkin, ketidakmampuanku menuliskan tentang dia, bisa memberikan gambaran, bahwa dia tak bisa kubingkai dalam kalimat. Tentangnya...berarti tentang hatiku, tentang hidupku.
Ira adalah sahabat yang hingga sekarang setia menunggu air mataku terakhir berhenti mengalir. Ira adalah sahabat, yang tidak protes meski aku tertawa tidak bersamanya. Ira juga ibarat ''tong sampah'', yang ikhlas menerima semua keluh kesahku yang kadang tak bermutu. Ira adalah, sosok yang tak layak untuk kubingkai dalam kata-kata.
Hanya segelintir orang yang bisa memahami makna persahabatan. Dan Ira adalah bagian dari semua pembelajaran itu.
0

Baca Selengkapnya->

Rabu, 06 Agustus 2008

Humas-Wartawan, Jangan Terlalu Mesra


Terkadang, larangan ini bagi kita adalah diam. Namun tak jarang bagi kita pertanda perang. Jurnalis yang pantang menyerah, akan tetap berjuang. Selagi masih ada lubang semut, ya jadi semut buat dapat berita. Kalau tidak bisa dengan cara halus, ya wartawan terpaksa jadi mahluk halus lah. Wartawan tetap memegang teguh etika selagi tidak ada yang melanggar hak mereka untuk dapatkan berita bagi masyarakat.
MENARIK sekali posting di milis jurnalisme, sampai-sampai membuat saya harus membaginya di sini. Selama ini, hubungan antara humas sebuah instansi atau perusahaan dan wartawan memang seperti tabu untuk dibahas. Seperti dalam posting itu, hubungan keduanya bersifat simbiosis mutualisme (saling menguntungkan). Namun sejauh mana sebaiknya kemesraan dibina?
Sebelumnya, mohon maaf buat Bang Kiki (Kabag Humas Pemprov Riau..tulisan ini semoga tidak mengganggu kemesraan kita selama ini hahahaha..buat rekan-rekan wartawan yang bertugas di kantor Gubernur Riau-Pemprov Riau, tulisan ini cuman buat jaga-jaga. Andai kita tak lagi jadi WPR...hahahahaha)

HUBUNGAN antara pejabat (praktisi) hubungan masyarakat (humas) dengan
wartawan (biasa pula disebut pers), bagaikan hubungan dua orang teman atau
mitra yang saling memerlukan. Hubungan kedua orang yang bermitra tersebut
bersifat simbiosis mutualisme (saling membutuhkan). Hubungan mereka saling
bergantung (interdependen). Mereka benar-benar saling membutuhkan. Dengan
demikian, tak satu pihak pun yang boleh menganggap dirinya lebih tinggi dan
penting daripada mitranya. Posisi kedua mitra tersebut setara (sama tinggi,
sama rendah), namun peran atau fungsi, motif dan tujuan kegiatan
masing-masing saling berbeda.

Ada masanya wartawan bisa bersabar, tapi jangan sangka wartawan mahluk beriman seutuhnya. Yang bisa sabar, baik hati, tidak sombong rajin menabung dan lain-lain, tidak!!! Demo yang dilakukan wartawan kali ini, adalah puncak kekecewaan ketika akses jurnalis dibatasi oleh aparat keamanan ketika meliput kunjungan Menteri Kehutanan beberapa waktu lalu. Apa yang kau sembunyikan wahai pejabat negara??? Yang penting, akhirnya Kabag Humas Polda Riau minta maaf..ceks..ceks..salut buat rekan-rekan yang demo. Jadi bingung mau buat berita dengan judul apa..hahahaha

Humas di lingkungan lembaga pemerintahan daerah, baik lembaga eksekutif
maupun legislatif (DPRD), bekerja atas nama dan untuk rakyat atau masyarakat
daerah setempat. Mereka bekerja berdasarkan mandat masyarakat. Oleh karena
itu, mereka yang bekerja di pemda dan DPRD wajib melaksanakan isi mandat
masyarakat yang diembankan ke atas pundak mereka. Mereka wajib melayani dan
memenuhi kebutuhan masyarakat atau membantu masyarakat dalam pemenuhan
kebutuhan masyarakat yang niscaya sangat beragam.

Demikian pula halnya dengan wartawan. Mereka bekerja berdasarkan mandat
masyarakat. Ada dua hal pokok isi mandat masyarakat yang diembankan kepada
lembaga pers, yang diaktualisasikan wartawan, yakni hak tahu dan hak
memberitahukan. Wartawan wajib mewujudkan isi kedua hak masyarakat tersebut.
Nah, salah satu sumber atau narasumber yang sangat penting yang menjadi
mitra kerja wartawan pastilah humas pemda dan humas DPRD. Untuk mewujudkan
hak tahu masyarakat, wartawan harus tekun dan gigih mencari fakta-fakta
(informasi) penting yang dibutuhkan masyarakat di daerah yang bersangkutan.
Agar ini dapat diwujudkan wartawan, humas sebagai mitranya harus selalu siap
menjawab pertanyaan dan memenuhi permintaan wartawan akan fakta-fakta
penting yang berhubungan dengan kepentingan masyarakat daerah, yang pasti
sangat beraneka.

Ini berarti humas dan wartawan sesungguhnya sama, yakni sama-sama abdi
(pelayan) masyarakat. Bedanya, humas yang umumnya berstatus PNS, pastilah
digaji negara melalui lembaga pemerintahan, sedangkan wartawan yang umumnya
berstatus pegawai swasta, pastilah digaji perusahaan di mana mereka bekerja.
Meskipun status dan jenis instansinya berbeda, namun kedua mitra ini harus
benar-benar mampu bekerja sama dengan baik dalam posisi dan sikap saling
menghormati dan menghargai mitra masing-masing.

*5 kiat penting *

Nah, agar hubungan kemitraan ini dapat berjalan dengan baik dan tujuan
mereka dapat diwujudkan secara optimal, yakni melayani dan memenuhi
kebutuhan masyarakat dengan sebaik-baiknya, maka ada beberapa hal yang
sangat penting dilakukan tiap pejabat atau praktisi humas di lingkungan
pemda dan DPRD di Tanah Air.

Pertama, hubungan humas dengan wartawan bersifat profesional. Selain
melayani masyarakat, humas wajib melayani wartawan secara profesional. Humas
jangan berhubungan terlalu mesra dengan wartawan. Kedua belah pihak,
terutama masyarakat yang mereka layani, pasti rugi bila tak ada jarak yang
pas antara humas dengan wartawan. Sebagai ilustrasi, dua sejoli yang saling
merapatkan wajah (baca: berciuman) pastilah tak mampu melihat wajah
pasangannya dengan cermat karena jarak pandangnya tidak pas. Mata
tidak/kurang difungsikan, yang berfungsi hanya perasaan (emosi). Celakanya,
bila suatu ketika personel humas berselisih atau bertengkar dengan mitra
mesranya (wartawan). Maka akibat buruknya tak saja merugikan kedua belah
pihak, tapi terutama merugikan masyarakat yang mereka layani, di samping
niscaya merugikan lembaga masing-masing. Tanpa mengurangi hubungan mesra,
humas harus senantiasa berinisiatif menjaga jarak yang pas dengan mitra
sejajarnya (wartawan). Hubungan kedua belah pihak harus sehat, terhormat,
dan bermartabat.

Di mata wartawan humas harus berwibawa, wibawa yang alamiah, bukan sok
berwibawa atau wibawa yang dibuat-buat agar disegani wartawan. Humas yang
profesional pastilah cerdas, berpengetahuan sangat luas (terpelajar),
disiplin, dan benar-benar menguasai bidang pekerjaannya. Ia juga sanggup
menganalisis dengan tajam tiap berita di media massa yang menyangkut daerah,
instansi, dan para pejabat pemda/DPRD yang bersangkutan. Dengan demikian,
humas mampu memberikan masukan yang baik terhadap para pengambil keputusan
di instansi di mana ia bekerja. Humas yang benar-benar mampu bekerja secara
profesional, termasuk menjaga jarak yang pas dengan mitranya, pastilah
dhormati, disegani, dan dipercayai wartawan.

Kedua, humas harus mengetahui seluk-beluk dunia wartawan atau jurnalisme,
termasuk irama kerja wartawan di tiap jenis media massa serta fungsi media
massa. Ini berarti humas mesti tahu nilai-nilai berita, tenggat waktu
laporan wartawan, peta media massa baik di tingkat daerah maupun di tingkat
nasional, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik (Pedoman Perilaku) Penyiaran,
Undang-undang No. 40/1999 tentang Pers, Undang-undang No. 32/2002 tentang
penyiaran, kekuasaan atau kekuatan media massa, visi dan missi media massa
yang beredar/beroperasi di wilayahnya, dan sebagainya.

Ketiga, humas juga harus/perlu memiliki kemampuan praktik jurnalisme, yakni
meliput, wawancara, memotret, menulis berita langsung, berita khas (feature
news), dan artikel opini. Selain memperkaya pengetahuan dan praktik melalui
bacaan dan pelatihan jurnalisme, humas juga perlu sekali-sekali magang di
media massa, terutama di media massa besar.

Jangan sangka, jadi wartawan Gubernur itu enak man...Kemana langkah kaki R-1 pergi, disitulah wartawan selalu jadi bayangannya. Ke laut yang dalam, kehutan yang seram, ke gunung yang tinggi dan panasnya bara api hehehehe...berlebihan kali ya (SUmpah, tu gedung tinggi buanget. Tapi asyik juga, jadi seperti mendaki gunung di Pekanbaru). Tapi yang jelas, semua perjalanan liputan, ada yang ikhlas menemani, ada juga yang setengah hati hanya karena takut gak bisa setor berita kekantor. Apapun itu, Humas Pemprov harus tanggungjawab hahahaha..

Keempat, humas harus mampu mengenal wartawan dan redaktur secara personal.
Ini sangat penting, agar humas mampu berkomunikasi dengan efektif dengan
mitranya. Humas harus tahu tingkat/jenis komunikasi yang lazim digunakan
wartawan yang sedang berbicara dengannya. Sesuai latar belakang budaya
daerah dan tingkat pendidikan, tiap wartawan pastilah memiliki gaya
berkomunikasi masing-masing. Ada wartawan yang lazim menerapkan komunikasi
konteks rendah (menyatakan sesuatu secara halus atau “berputar-putar”, tak
langsung ke tujuan). Tapi ada pula wartawan yang biasa menerapkan komunikasi
konteks tinggi (berbicara blak-blakan atau berterus terang, langsung ke
tujuan). Humas harus mampu berbahasa dengan baik sesuai bahasa dan tingkat
bahasa (abstraksi) wartawan yang sedang dihadapi. Humas perlu tahu pula
riwayat hidup wartawan yang biasa atau rutin meliput di lingkungan kerja
pemda dan DPRD, misalnya tanggal lahir/perkawinan. Humas juga perlu
memerhatikan ulang tahun media massa yang beredar/beroperasi di daerahnya.
Dengan demikian, humas dapat menjalin hubungan insani (human relations)
secara efektif dengan mitranya.

Kelima, humas jangan bersikap diskriminatif terhadap wartawan/media massa.
Semua wartawan profesional (muda atau tua, kaya atau miskin, berpenampilan
keren atau “kumuh”) dan media massa (besar atau kecil, lokal atau nasional,
baru atau lama, partisan atau independen) harus diperlakukan dengan adil
(tak ada “anak emas” dan “anak tiri”). Hal terpenting, humas wajib melayani
hanya wartawan yang benar-benar wartawan. Humas tak perlu melayani, apalagi
“memiara” wartawan “CNN” (cuma nanya-nanya) alias wartawan yang tak memiliki
media massa. Yang dimaksud melayani di sini adalah memberikan fakta-fakta
atau informasi penting yang dibutuhkan oleh khalayak media massa di mana
wartawan yang bersangkutan bekerja. Ini berarti humas tak boleh merusak
idealisme atau profesi wartawan dengan memberikan uang atau yang sejenisnya.
Humas sama sekali tak berurusan dengan pemenuhan kesejahteraan wartawan. Ini
adalah urusan pihak manajemen perusahaan media massa di mana wartawan itu
bekerja.

Inilah kiat utama humas menghadapi wartawan (pers). Bila kelima hal pokok
ini dapat diwujudkan dengan baik, niscaya humas sanggup bekerja secara
efektif dan efisien dalam melayani masyarakat di wilayah Jabar. Selamat
bekerja secara profesional! Tuhan memberkati Anda! *(penulis adalah dosen
jurnalistik fikom unpad)***

Baca Selengkapnya->

Selasa, 05 Agustus 2008

Mitos dan Realitas Profesi Wartawan


Kamera tak pernah bisa dipisahkan dari profesi wartawan. Dari balik lensa kecil ini, bisa terbuka semua fakta dunia. Hanya satu klik saja, lensa kecil ini bisa bicara dan tampilkan kejujuran mengalahkan jutaan kata-kata kebohongan
Memiliki profesi 'kuli tinta' memang tidak mudah tapi sebenarnya cukup menyenangkan karena memiliki banyak relasi. Bagi beberapa kalangan yang kurang memahami profesi ini akan beranggapan bahwa menjadi seorang wartawan tidak menguntungkan dan tidak memiliki masa depan yang cerah.
Selama ini masyarakat awam hanya mengetahui bahwa sosok wartawan dibatasi oleh sebagai penulis berita dan sumber gosip. Padahal sosok wartawan hanya bisa diselami melalui pergaulan dengan para pelakunya sendiri. Sehingga banyak mitos yang mengungkapkan tentang profesi 'kuli tinta' ini. Tidak ada salahnya anda simak beberapa mitos dibawah ini tentang wartawan dan kenyataan yang sebenarnya.


Wartawan sering dikatakan sosok yang menakutkan. Biasanya orang yang takut pada wartawan adalah ‘public figure’ atau lembaga perusahaan yang memiliki kasus jelek, sehingga mereka khawatir jika kasusnya ‘terendus’ wartawan bisa mencemarkan dan menjatuhkan nama baiknya. Memang tidak bisa dipungkiri kalau selama ini ada beberapa oknum yang membuat wartawan ditakuti oleh narasumber. Tetapi pada kenyataannya, banyak wartawan yang menjunjung kode etik jurnalistik. Kini wartawan sudah lebih santun dalam menghadapi sumber dan menuangkan berita. Bahkan tidak sedikit wartawan yang terus menjalin hubungan baik dengan narasumbernya.

Wartawan bisa menulis apa saja. Salah satu hal yang menyebabkan wartawan menjadi sosok yang menakutkan adalah karena wartawan dianggap bisa menulis apa saja yang didengar dan dilihatnya. Pada kenyataannya, dengan mengacu pada kaidah dan kode etik jurnalistik wartawan tidak bisa seenaknya menuliskan berita. Untuk menurunkan sebuah berita, terutama yang menyangkut informasi suatu kasus, wartawan harus mengkonfirmasikan kebenaran informasi tersebut pada sumber yang dapat dipercaya. Jika berita yang ditulisnya melenceng dari fakta yang sebenarnya, bisa menjatuhkan kredibilitas wartawan dan media yang bersangkutan.

Wartawan selalu minta amplop. Anggapan seperti ini adalah mitos yang paling populer di masyarakat. Wartawan dianggap selalu meminta sejumlah uang pada setiap sumber yang diwawancarainya. Wartawan juga selalu mengharapkan amplop dari panitia liputan acara. Memang ada sebagian wartawan yang bermental demikian, tapi tentu saja tidak bisa ‘dipukul rata’. Di masa sekarang, dengan semakin meningkatnya tingkat kemapanan media massa, praktek meminta ‘amplop’ pada sumber berita sudah bukan jamannya lagi.

Wartawan selalu urakan. Selama ini wartawan memang identik dengan busana kumal, mengenakan jaket atau rompi, menenteng kamera dan rambut acak-acakan. Memang ada beberapa wartawan yang berpenampilan seperti itu, tetapi semua itu disesuaikan dengan kondisi. Apabila mereka harus meliput berita tentang kebanjiran atau kebakaran, pasti akan terlihat aneh jika harus mengenakan sepatu yang mengkilap dan busana stelan trendy. Kini wartawan yang rata-rata berpendidikan tinggi, apalagi bekerja di media yang cukup terkenal, pasti akan membedakan mana penampilan yang cocok untuk di lapangan dan mana penampilan di acara-acara resmi. Penampilan mereka belakangan inipun terlihat lebih rapi dan intelek.

Mitos mengatakan bahwa wartawan manusia sakti. Wartawan disebut manusia sakti karena selama ini wartawan terkesan mudah dalam menembus rumitnya birokrasi, seperti melenggang masuk saat menghadiri pertunjukkan musik, hiburan, bahkan menonton film terbaru di bioskop. Padahal sebetulnya, wartawan itu tidaklah sakti. Mereka bisa melenggang masuk ke tempat-tempat yang semestinya ‘bayar’, karena para wartawan sudah mengurus ID card atau tanda masuk untuk menjalankan tugas. Tanpa ID card, wartawan pun tidak diijinkan masuk, sama halnya dengan orang yang tidak membeli karcis.

Ada mitos yang mengatakan bahwa wartawan bekerja 24 jam. Selama ini wartawan dianggap tidak memiliki jam kerja yang jelas dan harus siap ditugaskan kapan saja. Karena itu banyak yang menganggap wartawan bekerja selama 24 jam penuh. Padahal wartawan juga manusia biasa yang butuh istirahat. Jika urusannya sudah selesai wartawan bisa pulang ke rumah dan istirahat dengan tenang. Tetapi memang, jika mendekati ‘deadline’ wartawan harus siap memenuhi deadline meskipun harus bekerja sampai larut malam.

Beragam mitos yang beredar tentang profesi wartawan maka menunjukkan keunikannya. Sehingga profesi ini semakin diminati oleh kalangan muda yang dinamis dan kritis.Bagi ada yang memiliki minat besar dan kualitas di bidang ini, sebenarnya tidak sulit untuk mengembangkan karir di dunia ini. Apalagi banyak peluang kompetisi yang luas dan sehat bagi anda yang memang ingin menggelutinya secara serius. Jadi jangan pernah menganggap bahwa profesi wartawan tidak bisa diandalkan untuk masa depan, karena dari dunia kerja ini, anda bisa memiliki networking yang cukup luas. Tetapi semua itu bisa anda raih dengan keuletan dan kegigihan dalam menjalaninya. Semoga berhasil.(Ini pesan yang baik dari sahabat jurnalis di sebuah sisi lain bumi pertiwi ini...thanks u...)

Baca Selengkapnya->

Senin, 04 Agustus 2008

Dia Panggil Aku Bintang...


Foto di Hari Wisuda Ira (Fakultas Perikanan Universitas Riau)..Congratulation!!!

Dia bukan yang pertama
Bukan pula yang terutama
Namun dengan semua kelembutannya
Kesabaran, Ketulusan, Perhatian
Aku dibuat terpekur lama
Ternyata ini yang namanya Persahabatan
Dan dialah yang pertama menggetarkanku
Ketika Memanggilku Twinkle (Bintang)...


Nama lengkapnya Ira Yulisa. Pertama kenal, saat sekelas di bangku SMU. Awalnya, kupanggil dia teman ''dibelakang bangku ku''. Lalu hitungan bulan, kupanggil dia ''teman mengerjakan tugas''. Bulan berikutnya, kupanggil dia ''teman tempat curhat''. Bulan demi bulan terus berlalu. Hingga kuputuskan memanggilnya...Sahabat!
Lebih singkat, gak ribet dan mudah dipahami.
Ditempat sekecil ini, tak cukup kutuliskan tentang siapa dan apa arti Ira bagiku. Karena untuknya, tidak bisa terangkai dalam kata-kata. Mungkin, ketidakmampuanku menuliskan tentang dia, bisa memberikan gambaran, bahwa dia tak bisa kubingkai dalam kalimat. Tentangnya...berarti tentang hatiku, tentang hidupku.
Ira adalah sahabat yang hingga sekarang setia menunggu air mataku terakhir berhenti mengalir. Ira adalah sahabat, yang tidak protes meski aku tertawa tidak bersamanya. Ira juga ibarat ''tong sampah'', yang ikhlas menerima semua keluh kesahku yang kadang tak bermutu. Ira adalah, sosok yang tak layak untuk kubingkai dalam kata-kata.
Hanya segelintir orang yang bisa memahami makna persahabatan. Dan Ira adalah bagian dari semua pembelajaran itu.

Baca Selengkapnya->

Minggu, 03 Agustus 2008

Dia Panggil Aku Bintang...




Baca Selengkapnya->

Sabtu, 26 Juli 2008

Baca Selengkapnya->

Sabtu, 19 Juli 2008

Merindukan Kematian

Hari ini, aku sesaat terpekur. Sedikit terkesima dengan apa yang terpampang didepan mataku. Mungkin ini suatu hal yang biasa, tapi entah kenapa miliki makna yang sangat berbeda hari ini. Aku seolah tersadar dari mimpi dan tersentak hebat. Di depan mataku, sebuah keranda mayat, berbalut bunga melati putih dan ditutupi kain berwarna hijau dengan tulisan La Illa Hailla Allah. Didalamnya, terbaring jenazah seorang muslimah yang siap untuk disholatkan. Ya Rabb, betapa hatiku bergetar merindukan kematian dan menuju kearahmu…andai saja ku bisa tahu apa takdirmu untukku. Tentu aku tak akan jenuh tinggal dibumi mu yang penuh ketidakpastian ini

Mesjid kampus Unri sudah jadi langganan tempat sholatku. Baik ketika kuliah atau hanya sekedar numpang saja kalau terjebak dijalan. Siang itu, saat hendak melaksanakan sholat Dzuhur, mendadak aku terpaku didepan pintu masuk mesjid. Tidak ada yang aneh, sungguh sama sekali tidak ada! Satu-satunya yang beda dari mesjid kampusku hari ini, hanya keranda mayat di pojok kanan itu. Sebenarnya sama sekali tidak ada alasan, untuk aku takuti keranda itu, toh itu hanya sesosok jenazah muslimah yang baru saja meninggal tadi pagi (Semoga Allah swt mengampuni dosanya, amin). Namun entah mengapa, meski bukan yang pertama kali, hari ini keranda itu seolah menyimpan aura yang beda, teramat beda untuk kuungkapkan dengan kata-kata.

Untuk beberapa detik, berjuta pertanyaan bermain dalam alam khayalku. Apa rasanya andai aku yang menjadi jenazah dalam keranda itu? Gelapkah? Dinginkah? Menakutkan? Sedihkah? Apakah aku bisa melihat orang-orang yang menangisiku? Apakah aku dijaga malaikat? Benarkah aku mampu berada didalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menahan langkahku di pintu masuk mesjid. Aku benar-benar mengkhawatirkan banyak hal. Ada ketakutan, apa benar kematian itu menyakitkan? Apa benar hidup sesudah mati itu ada? Apakah aku sanggup untuk mati? Padahal sudah hampir tiga bulan aku tak pernah memegang Al-Quran karena kesibukanku..ah, bukan kesibukan, aku hanya sok sibuk saja. Ya Rabbi…sudah berapa lama aku jauh darimu. Sungguh mendadak aku merasa betapa jauhnya kini Engkau dengan raga dan jiwaku yang tak tahu malu ini.

Siapapun jenazah didalam keranda itu, sungguh dia telah berbuat amal jarizah padaku. Hari ini, kembali aku ingat akan kematian. Menyadarkan ku bahwa hidup bukan hanya ambisi untuk kerja dan memasukkan bola biliar dalam enam lubangnya saja! Kematian itu sungguh nyata, sementara aku teramat terlena akan dunia. Padahal sungguh kematian itu suatu keindahan. Keindahan yang menghapus pupus semua kerinduan..rindu bertemu dengan sang khalik. Hari ini…sebagai hambamu yang lemah dan hina, maafkan aku ya Rabbi…Ya Rahman..Ya Rahiim…

Seharusnya aku dituntut untuk banyak mengingat mati. Karena dalam ‘’karyaMU’’ Al-Quranul Karim, menyebutkan bahwa hati orang yang tenggelam dalam urusan duniwi, mengejar kesia-siaannya, dan menghambakan cinta kepada kenikmatannya yang palsu, akan lalai dari mengingat maut. Sikap lalai yang dilakukan oleh orang banyak terhadap kematian adalah akibat kurangnya perenungan dan ingatan terhadapMU. Padahal, dalam ayat MU Engkau telah berfirman: "katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu". (Q.S. Al Jumu’ah (62): 8).

Bagaimana aku mau lari kegunung? Atau sembunyi didalam bungker yang dalam? Kalau mati itu tidak pernah mengenal tempat! Apa mungkin aku menunda waktu, padahal kematian pasti datang, tidak lebih sedetik pun, dan tidak kurang sedetikpun! Aku bisa mati kapan saja, dimana saja, bagaimana saja, oleh siapa saja! Aku benar-benar dituntut harus siap untuk mati!

Betapa lalainya aku, padahal menurut para pakar, dalam Al-Quran, perihal kematian bahkan dibicarakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat. Tapi kenapa tidak satupun menyadarkan aku beberapa waktu ini. Mengapa tidak ada yang menyadarkan, bahwa bisa saja jenazah yang ada didalam keranda mayat yang akan disholatkan di Mesjid Kampusku hari ini, itu adalah AKU!

Pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku masih ingat waktu ibuku bercerita, bahkan kekasih Allah swt, Nabi Muhammad Saw, manusia yang paling disayangi Allah swt, manusia yang mendapat kemuliaan, dikisahkan juga sempat mengkhawatirkan datangnya kematian. Lalu bagaimana dengan aku? Secara kodrati, manusia inginnya hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (Al-Baqarah [2]: 96). Dan ini terekam jadi sejarah kelam manusia saat iblis (Semoga bangsanya terkutuk di neraka, amin) berhasil merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). Begitulah iblis menggoda Adam As

Tidak ada sesuatu yang kekal dalam keyakinanku, selain keindahan dari hidup sesudah mati. Meski juga ada ketakutan, bila aku bukan salahsatu penghuni surga. Meski tak pantas percaya diri, namun aku jujur, selalu bergetar setiap mengingat neraka. Ibuku termasuk pencerita yang hebat ketika mengisahkan tentang siksa neraka, hingga membayangkannya saja aku sudah tak kuasa.
Aku akhir-akhir ini memang terlupa sesaat. Dan jenazah yang akan disholatkan di mesjid kampusku hari ini, kembali mengingatkan ku akan perkataan Socrates. Sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup."

Ulil Amri ku, Rasul Muhammad Saw., bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)."
Lalu Allah swt, kembali mengatakan "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]: 64).
Tak cukup, kembali ditambahkan pula bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77).
Di lain ayat dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan
kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Aku rindu kematian. Rindu padamu ya Allah swt…Andai saja ku mampu jadi hambamu yang taat…Maafkan aku atas semua lalai dan khilafku. Jangan pernah tinggalkan aku..jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun…aku mohon…

Catatan Minggu (19/7) di Pekanbaru

Baca Selengkapnya->

Senin, 14 Juli 2008

Love You Allah SWT


SEBAGIAN orang terdekatku, selalu memasang wajah masam setiap kali aku minta izin untuk berangkat mendaki kepuncak gunung. Kekhawatiran adalah alasan utama. Namun bagiku, izin atau tidak diizinkan, aku selalu coba memahami, betapa kekuasaan Allah swt itu, banyak cara untuk mengenalnya. Alam adalah pembuktian, tentang betapa kerdilnya aku, betapa kerdilnya kita. Love you God...love you Allah SWT.

Dimasa dulu nih, waktu aku masih muda hahahaha, sekarang udah tua dikit...aku selalu menyempatkan diri bersama sahabat-sahabat kuliahku untuk mendaki gunung. Di kota Malang, kalau tidak lagi ada tugas kuliah, tidak terlalu banyak tempat yang bisa jadi bahan percobaan, untuk menenangkan hati yang suntuk.

Terus terang, aku gak terlalu suka mall atau pergi nonton bola ke stadion meski Arema juara Liga Indonesia. Akhirnya, salahsatu tempat yang selalu jadi penenangku adalah Puncak Panderman. Tidak terlalu tinggi kalau dibandingkan gunung Bromo. Namun membutuhkan mental juga untuk sampai ke puncaknya.

Satu hal yang aku suka dari puncak Panderman adalah, menatap matahari terbit dengan malu-malu dari balik awan putih. Aku seperti berada di tengah lautan awan tiada bertepi. Menatap keagungan tuhan, luarbiasa rasanya. Lebih lezat dari es krim dan lebih mengenyangkan dari sepiring soto ayam hehehehe..

Mendaki Panderman, aku belajar menyabari rasa takut, meski teramat takut untuk tetap sabar. Awalnya dulu, waktu pertama datang ke kota Malang, aku hanya menatap puncak Panderman dari lantai dua rumah umi ku. Ada panggilan setiap kali aku menatap puncaknya.

Dan pada pendakian pertama, aku harus merasakan perkenalan yang cukup menyakitkan. Meluncur dari ketinggian dan tersangkut diantara rimbunnya hutan dan bebatuan, adalah kengerian yang mengingatkanku akan kematian. Tapi ini bukan alasan untuk aku jera. Selalu ada pendakian berikutnya, berikutnya dan berikutnya.

Tak pernah ada kata jera, yang ada selalu rasa rindu. kekosongan itu akan terisi dengan sendirinya. Segala keluhku langsung terhapus. Segala resahku lumer membias hilang. Segala kemunafikan hidup, pupus musnah entah kemana. Itulah hebatnya alam, ketika dia memanjakanku dengan segala puja-puji padaNYA.

Aku adalah aku ketika berada disebuah puncak keinginan yang penuh dengan tantangan. Aku adalah aku dengan segala bebasnya. Aku adalah aku dengan segala kekagumanku.Dalam gelap meraba, ditemani bulan yang kadang muncul dengan penuh angkuh, aku tetap berjalan. Dan percaya dengan sahabat, adalah hal terbaik yang pernah singgah dalam pengalamanku. Gelap bagi kami adalah kesadaran, bahwa dunia ini tak selamanya penuh cahaya.

Aku selalu merindukan dinginnya malam di atas puncak, menatap kerlap kerlip lampu kota Malang yang terlihat seperti setitik cahaya. Aku rindu berteriak dengan segala keluh kesahku. Aku rindu bertasbih diatas puncak, untuk mengingat semua dosa yang pernah aku lakukan. Betapa rindunya aku padamu ya rabbi...Alam adalah caraku mengenalMU, untuk semua khilaf dan dosaku. Love you Allah swt...

Baca Selengkapnya->

Jumat, 11 Juli 2008

Experience Is Good Teacher



Pengalaman bagiku adalah guru yang terbaik. Dari rasa ingin tahu hingga akhirnya berwujud pada sebuah pembuktian. Bagiku, adalah hal luarbiasa untuk menyelami makna kekuasaan dan keagungan tuhan. Kadang alam lah yang mengingatkan ku bahwa aku bukanlah siapa-siapa.


Hampir empat tahun lamanya, aku merantau ke negeri orang. Kota Malang, salahsatu kota terindah di Jawa Timur, adalah labuhanku untuk menuntut ilmu. Tidak ingin kubiarkan sedetik waktu pun dalam perjalananku, untuk ku sia-siakan. Karena itu, alam adalah pilihan terbaik untuk memberikan yang terbaik dalam catatan sejarahku. Sungainya, gunungnya, lautnya, pantainya bahkan tanahnya, adalah hal yang selalu kurindukan dengan kota Apel ini.

Berkali-kali mendaki dan menjadi tamu di laut dan sungainya yang menenangkan, bersama sahabat-sahabat terbaik adalah pelampiasanku ketika kerinduan pada kampung halaman tak bisa lagi tertahankan. Pada alam aku berteriak. Dan pada alam aku mengadu. Tentang rindu dan semua keluh kesahku.

Baca Selengkapnya->

Senin, 16 Juni 2008

Belacan Jadi Idola,
Menikah Jadi Pilihan

Bagi penikmat film Ayat-ayat Cinta, tentu ingat satu momen di awal cerita, saat Fachri cs menerima kiriman dari Indonesia. Gembira dan bersorak. Ternyata momen seperti ini, juga menjadi bahagiaan dari kehidupan mahasiswa Riau yang saat ini sedang menempuh pendidikan di Universitas Al Azhar, Mesir.

Memakan ongkos jutaan rupiah plus transit pesawat di tiga negara sebelum sampai di Kairo, jelas Riau adalah negeri yang jauh jaraknya bagi mereka.

Celakanya, justru saat berada jauh dari kampung halaman, rindu akan masakan Bunda makin kuat menggoda. Saat stok habis, penghar­apan utama adalah menunggu kiriman tiba. Menjadi momen seru ketika hampir sebagian besar mahasiswa Riau yang tinggal satu asrama menanti penuh harap. Dan, wow, belacan adalah di antara titipan utama yang mereka tunggu-tunggu!

Biasanya kalau ada teman yang dapat kiriman, belacan tak pernah lupa. Nanti makannya ramai-ramai. Disini sulit sekali mendapatkan belacan. Kalau ada, itu pun di rumah-rumah makan Padang yang dikelola mahasiswa Indonesia. Jadi disini juga ada rumah makan Indonesia. Tapi datang kesana waktu ada rezeki saja," kata Hermi, mahasiswa asal Riau dalam wawancara via internet dengan Pekanbaru Pos.

Ada rumah makan Padang, nun jauh di negeri seberang, jelas tarifnya beda jauh. Cukup mahal untuk ukuran kantong mahasiswa asal Riau. Karena tidak semuanya berasal dari kalangan berada. Beasiswa dari daerah adalah harapan terbesar mereka untuk kebutu­han pendidikan dan hidup sehari-hari.

"Disini hidup harus pintar-pintar berhemat. Kiriman beasiswa dari daerah, kadang cukup untuk bayar kuliah, beli buku dan hidup beberapa waktu. Karena itu, untuk menyewa tempat tinggal, ya cari yang murah-murah saja. Makan pun sederhana. Kalau ada rezeki, baru bisa duduk di rumah makan Padang. Itupun yang dicari, bela can sama rendang," katanya.

Hermi menceritakan, untuk mempererat persaudaraan, antara mahasiswa Indonesia dari berbagai Provinsi selalu memiliki organ­isasi kemahasiswaan sendiri di Mesir. Mahasiswa Indonesia pun dinilai termasuk pendatang yang paling disenangi. Karena kebersa­maan, kekompakan dan persaudaraannya.

"Namun untuk mengatakan apakah mahasiswa Riau di Mesir, seper­ti Fachri di Ayat-ayat Cinta, saya tidak berani. Karena karakter masing-masing orang berbeda. Namun Fachri di film itu, cukup mewakili sedikit karakter mahasiswa Indonesia yang saat ini sedang kuliah di Mesir. Namanya juga di negeri orang, tentu kita harus ramah dan tawaduk sama semua orang," kata Hermi.

Sebagaimana novel dan filmnya, dalam kehidupan nyata, ternyata ada mahasiswa Indonesia yang sedang kuliah di Al Azhar Mesir, menikah di negeri para nabi tersebut. Menghindari fitnah, adalah salahsatu alasan utama mereka.

Untuk hal tersebut, Hermi awalnya enggan untuk berkomentar. Baginya tidak ada yang salah dengan menikah kendati masih kuliah. Asal sudah akil baligh, disetujui orangtua dan merasa mampu, tidak ada yang salah dengan sebuah pernikahan. Apalagi, sebagai­mana kata Fachri di Ayat-Ayat Cinta, dalam Islam memang tak ada yang mengenal kata pacaran.

"Yang dilakukan oleh Fachri dalam film tersebut juga terjadi di sini. Setahu saya, ada dua mahasiswa asal Riau yang akhirnya menikah dengan penduduk Mesir. Sekarang sudah punya anak dan buka usaha di sini. Kalau pernikahan antara sesama mahasiswa Riau, juga ada. Kemarin baru saja ada mahasiswa Riau yang melangsungkan pernikahan. Alhamdulillah acaranya berlangsung lancar," kisah Hermi.

Menurutnya, pernikahan di kalangan mahasiswa Indonesia di Mesir, biasanya berlangsung sederhana namun tak menghilangkan kemeriahaan acara. Kendati orangtua tidak hadir di acara pernika­han, namun semarak acara tetap bisa dinikmati setiap tamu undan­gan.

"Biasanya akad nikah diwakili oleh wali nikah, karena orangtua mereka tak datang ke Mesir. Yang terakhir kemarin, mengadakan acara pernikahan dengan menggunakan baju Melayu yang dikirim dari Riau. Acaranya, Alhamdulillah ramai. Ada yang ber-zapin, pantun dan baca puisi. Karena setiap ada mahasiswa yang menikah, maka teman-temannya yang satu organisasi akan hadir semua. Begitu pula dengan organisasi daerah lainnya. Jadi rasa persaudaraan di sini sangat terasa sekali," jelasnya.

Pernikahan di kalangan mahasiswa, menurut Hermi, bukanlah hal yang luar biasa untuk diperbincangkan. Namun sebuah pilihan private guna menjalankan kewajiban sesuai dengan syariat Islam.
Meski terlihat masih sama-sama muda karena masih berstatus maha­siswa, namun pernikahan di kalangan mahasiswa Al Azhar Mesir diyakini sebagai berkah dan takdir terbaik dari Allah SWT.

"Saya rasa tak perlu lebih jauh kita bicarakan hal ini, karena ini persoalan jodoh dan takdir Allah semata. Pernikahan adalah sebuah rahmat. Daripada terjadi fitnah, memang lebih baik lang­sung menikah saja. Biasanya setelah menikah, para mahasiswa ini tinggal satu apartemen. Dan melanjutkan kuliah seperti biasa. Jadi memang tak ada mengenal kata pacaran di sini," ujarnya.

Satu-satunya pengaruh akibat menikah di kalangan mahasiswa adalah beasiswa yang diputus oleh daerah. Hermi mengatakan, setiap mahasiswa Riau mendapatkan beasiswa pendidikan dari kabu­paten mereka masing-masing. Ketika pernikahan jadi pilihan, kuliah bisa tetap dilanjutkan namun beasiswa dihentikan oleh daerah.

"Meski beasiswa dihentikan, setahu saya belum ada mahasiswa Riau yang kembali pulang ke Indonesia akibat tak bisa melanjutkan kuliah. Jadi seperti yang saya katakan tadi, pernikahan di kalan­gan mahasiswa Al Azhar adalah sebuah jalan terbaik menghindari fitnah. Karena di sini, yang kita lakukan adalah jihad untuk menuntut ilmu. Dan jika tamat kuliah, akan kembali untuk ikut membangun Riau," katanya.

Baca Selengkapnya->

Sabtu, 14 Juni 2008

Afni The Genk in Jakarta




Baca Selengkapnya->

Tak Sesempurna di "Ayat-ayat Cinta"


TOKOH fiksi gampang terkenal. Fachri misalnya, seiring "meledaknya" film Ayat-ayat Cinta, menjelma menjadi sosok idola. Orang pun jadi penasaran, seperti apa sebenarnya kondisi Fachri lainnya, sesama mahasiswa asal Indonesia, khususnya Riau, yang kuliah di Al-Azhar, Kairo, Mesir di kehidupan nyata?

Bgitu fasilitas chatting diaktifkan, muncul pesan singkat bernada tanya. Akhi_Fillah, nama pena pengirimnya. ‘’Assalamualai­kum Ukhti, Khaifa Haluki? Bagaimana kabar Riau sekarang? Siapa saja yang mencalonkan diri jadi Gubernur Riau tahun 2008?".
Nama lengkap pengirim pesan ini Hermi Faisal Bin Hasan Kasim (22), mahasiswa Al-Azhar Mesir asal kecamatan Sungai Apit, kabu­paten Siak, Riau. Ia duduk di tingkat 2 jurusan Arabic and Islamic Study Universitas Al-Azhar. Pekanbaru Pos mewawancarainya menggunakan fasilitas internet, yang juga dilengkapi earphone, yang memungkinkan penyampaian pesan suara. Persis telepon.

"Saya senang sekali bisa menceritakan bagaimana kehidupan dan keseharian mahasiswa Riau yang sedang menuntut ilmu di Al-Azhar Mesir. Alhamdulillah, suatu kehormatan bagi kami disini bisa saling berbagi cerita dengan saudara-saudara kami di Riau," suara Hermi dari seberang. Bening dan terdengar jelas.

Hermi pun berkisah. Di Al-Azhar Mesir, jumlah anak Riau yang sedang menuntut ilmu di negeri Umul Bilad (Ibunya pengetahuan, ungkapan yang sering disematkan pada Mesir, red) berjumlah sedi­kitnya 167 orang dari sekitar 4.000 mahasiswa Indonesia lainnya.

Berasal dari 11 kabupaten/kota, mereka tergabung dalam organi­sasi Kelompok Study Mahasiswa Riau (KSMR). Bersama mereka juga bergabung 10 perwakilan mahasiswa dari Kepulauan Riau. Berjauhan dengan keluarga, jelas bukan hal yang mudah. Untungnya, sesama perantau penuntut ilmu di sana, kerap terjalin hubungan seperti layaknya perkerabatan, persaudaraan.

Mencuatnya film Ayat-ayat Cinta, juga sampai ke telinga mere­ka. Bangga juga karena tokohnya adalah mahasiswa Indonesia di Al-Azhar Kairo, sama seperti mereka. Sayangnya, tak seperti di tanah air, mereka jelas tak mungkin berbondong-bondong ke bioskop. Selain tidak lazim, apa iya film kita diputar di sana?

"Disini sulit mencari tempat hiburan, apalagi bioskop. Pergau­lan antara Banin (laki-laki,red) dan banat (perempuan, red) ada batasannya. Banyak tabunya. Ya seperti di film itulah. Disini aura ajaran Islamnya sangat kuat. Meski tidak se-ekstrem Afganistan," jelasnya.

Kendati belum melihat secara utuh film yang dibintangi aktor Fedi Nuril tersebut, ada nada bangga saat Hermi menceritakan, sang pengarang novel yang difilmkan itu, Habbiburrahman El Shira­zy baru saja mengunjungi mahasiswa Indonesia di sana.

Menurutnya, sang pengarang sudah sering melakukan itu. Namun kedatangnnya pada awal Februari 2008 lalu khusus diundang PPMI dan KBRI Kairo, sebagai salah seorang pemateri untuk mengajarkan tentang trik dan cara menulis novel best Seller.

"Beliau kan alumni Al-Azhar juga. Orangnya sederhana. Beliau berbagi pengalaman tentang cara menulis novel best seller. Ya Ayat-ayat Cinta itu jadi contohnya. Hampir seluruh mahasiswa Indonesia disini sudah membaca novel tersebut. Kalau filmnya belum. Sudah pun, paling dari internet saja,"katanya.

Soal film yang kini kinclong itu, apalagi dengan latar belakang apa yang kini mereka lakoni, mereka apresiasi dengan rasa syukur, bahwa akhirnya ada film kita bernuansa Islam yang jadi tontonan laris di Indonesia.

"Jelas kalau dibandingkan antara film dan kehidupan nyata, kami yang sedang kuliah di Al-Azhar Mesir tidaklah sesempurna Fachri di Ayat- ayat Cinta," ujar Hermi. Kali ini dari alat kecil yang jadi pengeras suara, terdengar suara tawa yang sangat lepas.

Diakuinya, pada beberapa bagian film, memang ada yang menggam­barkan tentang kehidupan nyata. Salah satunya, latar kehidupan yang panas dan gersang ditambah dengan padatnya kota.

"Disini, kotanya sangat padat sekali. Dihuni tak hanya pendu­duk asli, pendatang juga banyak. Di mana-mana, mobil-mobil tua tetap digunakan. Pasar-pasarnya juga rapat. Macet sudah menjadi keseharian. Yah, persis seperti Fachri di film tersebut, kami lebih mengandalkan berjalan kaki pergi ke kampus,"ujarnya.

Dalam kesehariannya, mahasiswa asal Indonesia memang sebagian besar terkendala soal bahasa. Kendati berlatar pendidikan pesan­tren, mahasiswa Indonesia yang baru saja menempuh pendidikan di Al-Azhar Mesir harus ekstra melakukan penyesuaian.

"Tidak seperti di film yang kadang bercampur bahasanya, disini semuanya berbahasa Arab. Dosen mengajarnya juga pakai bahasa Arab. Kendalanya, mahasiswa Indonesia biasanya menguasai bahasa Arab Fusha, yang biasa dipakai di pesantren-pesantren. Di sini pengajarnya lazim menggunakan bahasa Arab Ammiyah," jelasnya.

Satu yang membanggakan, kata Hermi, masyarakat Mesir dalam kesehariannya sangat menghormati mahasiswa asal Indonesia, apalagi yang tinggal di pelosok Kairo. Bila ada yang mengalami kesusa­han, tak jarang mereka jamu di rumah-rumah mereka. Bahkan bebera­pa mahasiswa Riau, selalu mendapatkan sembako gratis dari berba­gai lembaga sosial, dermawan Mesir dan penduduk tempatan.

Dengan nada lebih pelan, Hermi menceritakan, bagi beberapa mahasiswa yang telat mendapatkan kiriman dari tanah air, roti gratis ini menjadi hal yang ditunggu-tunggu setiap hari. Hal ini pernah dialami oleh mahasiswa asal kabupaten Bengkalis yang sedang belajar di Provinsi Tafahna.

"Aiys (roti,red) ini lumayan jugalah untuk hemat belanja. Dan setahu kami, masyarakat Mesir menghormati mahasiswa Indonesia karena mereka tahu bahwa Indonesia adalah Akbaru Bilad Moslem Fil'Alam (negara dengan penganut Islam terbesar di dunia, red).

Mahasiswa Indonesia juga dikenal karena keramahan dan sopan santunnya. Alhamdulillah, berkat itu pula, mahasiswa Indonesia khususnya Riau sangat diterima disini," kata Hermi.

Jumlah mahasiswa 4.000 orang ini menciptakan Indonesia "­mungil" yang kerap berhimpun, diskusi dan silaturahim. Tak jarang antara mahasiswa per-provinsi mengadakan even budaya hingga lomba olahraga.

"Baru saja ada Sumatera Cup, Alhamdulillah Riau dapat pering­kat ketiga. Insyallah tahun depan kita sabet juaranya. Selain olahraga, kita juga sering mengadakan pertunjukan budaya. Kami biasanya menampilkan pantun, puisi, sampai tari zapin,' ' ujar Hermi, kali ini dengan nada bangga.

Dibanding mahasiswa provinsi lainnya, diakui Hermi mahasiswa Riau memang punya beberapa kendala. Tak punya peralatan musik khas melayu, membuat mereka hanya mampu menampilkan Tari Zapin hanya dengan mengandalkan musik dari kaset saja.

"Lagu favorit yang sering jadi lagu pengiring zapin, adalah lagunya Iyeth Bustami. Itu pun kami dapatkan setelah menitip sama teman yang libur ke Riau. Kalau mahasiswa Aceh atau Jawa, mereka lengkap peralatan musiknya. Beitu pun, kami tetap bersyukur dan bangga bisa menampilkan kebudayaan melayu di negeri orang. Kami juga bangga menyanyikan lagu Lancang Kuning di sini," jelas Hermi, seraya tertawa.

Baca Selengkapnya->

Marjohan Tinggalkan Pemprov, Tolak ''Kursi Panas'' Kadisbun






Baca Selengkapnya->