Sabtu, 19 Juli 2008

Merindukan Kematian

Hari ini, aku sesaat terpekur. Sedikit terkesima dengan apa yang terpampang didepan mataku. Mungkin ini suatu hal yang biasa, tapi entah kenapa miliki makna yang sangat berbeda hari ini. Aku seolah tersadar dari mimpi dan tersentak hebat. Di depan mataku, sebuah keranda mayat, berbalut bunga melati putih dan ditutupi kain berwarna hijau dengan tulisan La Illa Hailla Allah. Didalamnya, terbaring jenazah seorang muslimah yang siap untuk disholatkan. Ya Rabb, betapa hatiku bergetar merindukan kematian dan menuju kearahmu…andai saja ku bisa tahu apa takdirmu untukku. Tentu aku tak akan jenuh tinggal dibumi mu yang penuh ketidakpastian ini

Mesjid kampus Unri sudah jadi langganan tempat sholatku. Baik ketika kuliah atau hanya sekedar numpang saja kalau terjebak dijalan. Siang itu, saat hendak melaksanakan sholat Dzuhur, mendadak aku terpaku didepan pintu masuk mesjid. Tidak ada yang aneh, sungguh sama sekali tidak ada! Satu-satunya yang beda dari mesjid kampusku hari ini, hanya keranda mayat di pojok kanan itu. Sebenarnya sama sekali tidak ada alasan, untuk aku takuti keranda itu, toh itu hanya sesosok jenazah muslimah yang baru saja meninggal tadi pagi (Semoga Allah swt mengampuni dosanya, amin). Namun entah mengapa, meski bukan yang pertama kali, hari ini keranda itu seolah menyimpan aura yang beda, teramat beda untuk kuungkapkan dengan kata-kata.

Untuk beberapa detik, berjuta pertanyaan bermain dalam alam khayalku. Apa rasanya andai aku yang menjadi jenazah dalam keranda itu? Gelapkah? Dinginkah? Menakutkan? Sedihkah? Apakah aku bisa melihat orang-orang yang menangisiku? Apakah aku dijaga malaikat? Benarkah aku mampu berada didalamnya?

Pertanyaan-pertanyaan itu terus menahan langkahku di pintu masuk mesjid. Aku benar-benar mengkhawatirkan banyak hal. Ada ketakutan, apa benar kematian itu menyakitkan? Apa benar hidup sesudah mati itu ada? Apakah aku sanggup untuk mati? Padahal sudah hampir tiga bulan aku tak pernah memegang Al-Quran karena kesibukanku..ah, bukan kesibukan, aku hanya sok sibuk saja. Ya Rabbi…sudah berapa lama aku jauh darimu. Sungguh mendadak aku merasa betapa jauhnya kini Engkau dengan raga dan jiwaku yang tak tahu malu ini.

Siapapun jenazah didalam keranda itu, sungguh dia telah berbuat amal jarizah padaku. Hari ini, kembali aku ingat akan kematian. Menyadarkan ku bahwa hidup bukan hanya ambisi untuk kerja dan memasukkan bola biliar dalam enam lubangnya saja! Kematian itu sungguh nyata, sementara aku teramat terlena akan dunia. Padahal sungguh kematian itu suatu keindahan. Keindahan yang menghapus pupus semua kerinduan..rindu bertemu dengan sang khalik. Hari ini…sebagai hambamu yang lemah dan hina, maafkan aku ya Rabbi…Ya Rahman..Ya Rahiim…

Seharusnya aku dituntut untuk banyak mengingat mati. Karena dalam ‘’karyaMU’’ Al-Quranul Karim, menyebutkan bahwa hati orang yang tenggelam dalam urusan duniwi, mengejar kesia-siaannya, dan menghambakan cinta kepada kenikmatannya yang palsu, akan lalai dari mengingat maut. Sikap lalai yang dilakukan oleh orang banyak terhadap kematian adalah akibat kurangnya perenungan dan ingatan terhadapMU. Padahal, dalam ayat MU Engkau telah berfirman: "katakanlah, sesungguhnya kematian yang kamu lari daripadanya, maka sesungguhnya kematian itu akan menemui kamu". (Q.S. Al Jumu’ah (62): 8).

Bagaimana aku mau lari kegunung? Atau sembunyi didalam bungker yang dalam? Kalau mati itu tidak pernah mengenal tempat! Apa mungkin aku menunda waktu, padahal kematian pasti datang, tidak lebih sedetik pun, dan tidak kurang sedetikpun! Aku bisa mati kapan saja, dimana saja, bagaimana saja, oleh siapa saja! Aku benar-benar dituntut harus siap untuk mati!

Betapa lalainya aku, padahal menurut para pakar, dalam Al-Quran, perihal kematian bahkan dibicarakan tidak kurang dari tiga ratusan ayat. Tapi kenapa tidak satupun menyadarkan aku beberapa waktu ini. Mengapa tidak ada yang menyadarkan, bahwa bisa saja jenazah yang ada didalam keranda mayat yang akan disholatkan di Mesjid Kampusku hari ini, itu adalah AKU!

Pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan. Aku masih ingat waktu ibuku bercerita, bahkan kekasih Allah swt, Nabi Muhammad Saw, manusia yang paling disayangi Allah swt, manusia yang mendapat kemuliaan, dikisahkan juga sempat mengkhawatirkan datangnya kematian. Lalu bagaimana dengan aku? Secara kodrati, manusia inginnya hidup seribu tahun lagi. Ini, tentu saja bukan hanya ucapan Chairil Anwar, tetapi Al-Quran pun melukiskan keinginan sekelompok manusia untuk hidup selama itu (Al-Baqarah [2]: 96). Dan ini terekam jadi sejarah kelam manusia saat iblis (Semoga bangsanya terkutuk di neraka, amin) berhasil merayu Adam dan Hawa melalui "pintu" keinginan untuk hidup kekal selama-lamanya. "Maukah engkau kutunjukkan pohon kekekalan (hidup) dan kekuasaan yang tidak akan lapuk? (QS Thaha [20]: 120). Begitulah iblis menggoda Adam As

Tidak ada sesuatu yang kekal dalam keyakinanku, selain keindahan dari hidup sesudah mati. Meski juga ada ketakutan, bila aku bukan salahsatu penghuni surga. Meski tak pantas percaya diri, namun aku jujur, selalu bergetar setiap mengingat neraka. Ibuku termasuk pencerita yang hebat ketika mengisahkan tentang siksa neraka, hingga membayangkannya saja aku sudah tak kuasa.
Aku akhir-akhir ini memang terlupa sesaat. Dan jenazah yang akan disholatkan di mesjid kampusku hari ini, kembali mengingatkan ku akan perkataan Socrates. Sebagaimana dikutip oleh Asy-Syahrastani dalam bukunya Al-Milal wa An-Nihal (I:297),

"Ketika aku menemukan kehidupan (duniawi) kutemukan bahwa akhir kehidupan adalah kematian, namun ketika aku menemukan kematian, aku pun menemukan kehidupan abadi. Karena itu, kita harus prihatin dengan kehidupan (duniawi) dan bergembira dengan kematian. Kita hidup untuk mati dan mati untuk hidup."

Ulil Amri ku, Rasul Muhammad Saw., bersabda, "Perbanyaklah mengingat pemutus segala kenikmatan duniawi (kematian)."
Lalu Allah swt, kembali mengatakan "Sesungguhnya negeri akhirat itu adalah al-hayawan (kehidupan yang sempurna" (QS Al-'Ankabut [29]: 64).
Tak cukup, kembali ditambahkan pula bahwa, "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar, sedang akhirat lebih baik bagi orang-orang bertakwa, dan kamu sekalian (yang bertakwa dan yang tidak) tidak akan dianiaya sedikitpun (QS Al-Nisa' 14]: 77).
Di lain ayat dinyatakan, "Hai orang-orang yang beriman, mengapa jika dikatakan kepada kamu berangkatlah untuk berjuang di jalan Allah, kamu merasa berat dan ingin tinggal tetap di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini dibanding dengan akhirat (nilai kehidupan duniawi dibandingkan dengan nilai kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit (QS At-Tawbah [9]: 38).

Betapa kehidupan ukhrawi itu tidak sempurna, sedang di sanalah diperoleh keadilan sejati yang menjadi dambaan setiap manusia, dan di sanalah diperoleh kenikmatan hidup yang tiada taranya. Satu-satunya jalan untuk mendapatkan kenikmatan dan
kesempurnaan itu, adalah kematian, karena menurut Raghib Al-Isfahani:

"Kematian, yang dikenal sebagai berpisahnya ruh
dari badan, merupakan sebab yang mengantar manusia
menuju kenikmatan abadi. Kematian adalah
perpindahan dari satu negeri ke negeri yang lain,
sebagaimana dirtwayatkan bahwa, "Sesungguhnya
kalian diciptakan untuk hidup abadi, tetapi kalian
harus berpindah dan satu negen ke negen (yang
lain) sehingga kalian menetap di satu tempat."
(Abdul Karim AL-Khatib, I:217)

Aku rindu kematian. Rindu padamu ya Allah swt…Andai saja ku mampu jadi hambamu yang taat…Maafkan aku atas semua lalai dan khilafku. Jangan pernah tinggalkan aku..jangan pernah tinggalkan aku sedetikpun…aku mohon…

Catatan Minggu (19/7) di Pekanbaru

0 komentar: