Sabtu, 04 September 2010

Akhirnya, Inilah Akhirku..!

Belajar mencintaimu dengan tunjuk ajar. Karna tak kupaham, seperti apa cinta penghadir tegar. Karna pernah ku gusar, mencabik ingin dan mau yang tak terkejar. Aku mencintaimu bermula dari tak sadar.

Awalnya aku tak mau tahu, tentang luka yang kugores diawal maumu. Aku pun tak peduli, bila sengaja menyakiti tanpa kau sadari. Pernah ku jauhi, agar sucimu tak ku dzalimi. Namun luluhmu dan ikhlasmu, terus menantiku. Menyulam harap dalam ratap. Ratap harap balutan doa yang melebihi lautan surga. Dalam tulus yang begitu halus.

Lalu kucoba merengkuh dirimu, dalam ragu. Lewat lagu yang pastinya tak merdu bagimu. Ragu bisu. Ragu semu. Semu dibalik inginmu. Dibalik layuku. Namun tetap berdirimu disana. Dengan setia. Dengan senyuman yang membunuh angkuhku. Leburku dalam lumpur hidup. Mengisap kalut. Lalu biarkan kuhanyut dalam sungai mata air air mata yang mulai surut. Aku pun terpagut.

Kuberi kejujuran yang menyakitkan, tetap kau beri senyuman. Senyuman keikhlasan dan kepastian.Tak pandang lukaku, tak pandang kurang ku. Kau kata, kau mau bahagiaku. Mau senyumku. Senyum yang kau sadari senyum terpaksa dari luka yang masih menganga. Tak pedulimu, semua itu.

Kau kata, aku akan kau bahagiakan. Bukan dengan janji, kata apalagi harta. Selalu kusakiti, dalam jatuh, acuh dan aduh. Tetap saja kau berdiri disana, tanpa peluh.Tanpa jenuh.

Tulus halusmu, menggiringku kembali membaca ayat-ayat dari kitab suci. Lalu kuurai makna ayat yang tersurat. Kutahbis diri mencari makna. Makna kitab suci manusia atas nama cinta. Ayat-ayat itu lalu menelanjangiku. Meruntuhkan aku jauh lebih dalam. Hingga bait-bait ayat itu menjadi kitabku kini. Ternyata ikhlasmu, adalah jawaban dari doa. Doa yang bermula dari tangisan. Tangisan mengalahkan teriakan. Teriakan para pecundang. Pecundang itu dulu aku. Aku yang dulu berada ditepian jurang kematian.

Diatas pelana kuda perangmu, kau datang tanpa pedang terhunus ditangan. Kau cabik segala mauku, segala dukaku. Luka yang berdarah itu kau ganti dengan balutan pelipur lara. Lalu apa lagi yang harus kujawab. Selalu kau tanya, apakah aku bahagia? Kurang kah senyumanku saat kita bertemu. Bercumbu dalam niat suci yang melumat hasrat. Atau kurangkah airmataku, saat berlindung dibalik teguhmu. Kukuhmu.

Aku sedang menujumu, belajar kini mencintaimu pelan-pelan. Pelan-pelan tanpa kesakitan tak bertuan. Aku pun belajar memahamimu, seperti pemahamanku akan kasih sayang tuhan. Aku pun belajar mengertimu, seperti kumulai belajar mengerti mauku. Maunya para perindu. Perindu yang tak punya lagi mau karna malu.

Aku kini belajar, untuk kembali tersenyum dengan tunjuk ajar. Untuk kembali bisa berdiri lalu berlari. Untuk kembali bisa tertawa lalu susun jemari ungkap bahagia. Hingga akhirnya dalam waktu singkat, ku ingin dekat. Kuingin hangat. Kuingin nikmat dalam surat. Dalam hasrat yang melumat.***

---------------------------

(Dec-2009)

0 komentar: