Senin, 06 September 2010

Berkampung di Ibukota...

(Cerita tentang hidup perdanaku di Ibukota)

Dulu waktu ku masih kecil, sepotong bangunan dengan tumpukan obor terbuat dari emas di puncaknya, menghiasi sudut dinding rumah kayuku. Kata Ibu, itu namanya Monas. Letaknya di Ibukota Indonesia, Jakarta. Kata Ibu, kalau ku besar nanti dan banyak uang, aku baru bisa kesana.’’Karena letaknya beda pulau dan kita tak punya uang banyak sekarang Nak,’’. Akhirnya, di buku gambar waktu masih duduk di Taman Kanak-Kanak, aku sering menggambar si Monas. Lalu gambar yang tak punya nilai seni itu, kunamakan: Tempat Mahal. Guru TK ku memberi gambar itu dengan nilai berbentuk senyuman.

Kini, sekitar 24 tahun kemudian. Aku akhirnya sampai ke tempat mahal itu. Tidak lagi menggambarnya di atas kertas, namun menjadi penghias di setiap perjalanan kerjaku. Takdir hidup, membawaku menjadi bagian dari si tempat mahal. Tiap pagi dan tiap sore, motorku yang cicilannya masih puluhan bulan, mengelilingi si obor emas itu. Aku sering termangu, ternyata mimpi itu tidak semahal yang ku kira. Jakarta, kini jadi tempat berpijakku. Di bawah langitnya, segala mimpi tengah kurajut dari sulaman keberanian mengubah nasib. Memang tak ada salahnya bermimpi. Sebelum di negeri yang katanya kaya raya ini membuat pajak untuk sebuah mimpi. Apalagi dari anak kampung seperti ku.

Pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, aku hanya bermodalkan nekat dan niat. Di dompet, lebih banyak penghias daripada lembaran kertas. Aku yakin, kota ini memang sulit ditaklukan. Tapi bagi perantau, segala ranjau jangan dihadang dengan risau. Sebagai anak kampung biasa, tinggal di Ibukota bagiku sama saja. Di kampung ku, ada hutan kayu. Di Jakarta, juga banyak hutan, tapi namanya hutan beton. Kalau di kampung, ada harimau hutan. Kalau di kota, justru ada macam-macam. Ada yang imut bagai marmut. Ada yang galak, bagai macan. Ada yang lucu, seperti kelinciku dulu. Ada buaya, ada musang. Pokoknya macam-macamlah. I like this city, karena banyak preketiew-preketiew…hehehehe.
(Aku sudah merantau sejak tamat SD. Sudah mengenal pahit,manis,asam,tawar dan kecutnya hidup tak bersama keluarga. Jakarta masih belum ada apa-apanya. Karena dulu aku merantau, tak punya modal apa-apa selain doa dan semangat saja)

Yang kucari pertama kali adalah tempat berteduh. Pertamanya, aku dapat tempat kos dekat kantor. Tak begitu jauh. Di tempat ini, aku tinggal sekitar 3 minggu. Selanjutnya, aku pindah ke kos baru. Agak jauh dan masuk ke kampung-kampung. Aku memilih pindah untuk mencari tempat yang sesuai selera hati. Tempat dengan hiruk pikuk kota namun tetap ada nuansa kampung-nya. Sahabat terbaik ku di kota ini, Mbak Levi, yang juga teman kantorku, menyarankan lokasi kos yang sama dengan tempat kos-nya. Kampung di tengah kota. Kota yang ditengahnya ada kampung. That’s my home.

Aku tak hafal alamat lengkapnya. Tapi orang-orang bilang, letaknya di Kemandoran. Aku tak tahu nama kecamatannya apa, yang kutahu, kalau naik taksi tinggal bilang Kemandoran-Palmerah-Jakarta Selatan.

Mencari kos ku, tidak susah tapi tidak juga mudah, khususnya bagi orang baru yang menginjak Jakarta. Kalau dari Bandara Soekarno Hatta, tinggal naik Damri jurusan Blok M. Lalu bilang sama kernet, minta turun di Slipi Palmerah. Dari tempat turun, menyeberang jalan melewati bawah tol. Lalu pilih, kalau naik ojek, bayar Rp 15 ribu dan bilang ke Kemandoran. Kalau naik angkot, ambil jurusan 09 dan turun di simpang Kemandoran. Kalau naik taksi, lebih gampang lagi. Tinggal siapkan saja uang Rp 20 ribu. Dijamin sampai alamat. Ke Kemandoran.

Posisinya, setelah melewati pasar Palmerah, belok kanan, lalu ketemu kantor Group Kompas, lurus terus, ketemu belokan dan persis sebelah kiri, ada pangkalan ojek Kemandoran. Dari sana, aku sarankan lebih baik menelpon aku saja, masalahnya jarang ada yang bisa menemukan alamat kos ku itu. Karena harus masuk perkampungan. Meski letaknya tidaklah begitu jauh dari tempat turun di pangkalan ojek tadi.

Letak kos ku, berada di sebuah gang bernama Pulo Cempaka 2. Disini, semua rumah posisinya rapat-rapat. Warganya lebih banyak pendatang. Sedangkan penghuni asli, lebih banyak menyulap rumahnya jadi kos-kosan atau rumah kontrakan. Tidak ada sejengkal tanahpun yang tersisa. Bahkan, pelataran mesjid setiap kali sholat Jumat, harus mengambil badan jalan untuk tempat sendal jemaah. Soal tak ada tanah ini, aku jadi ingat keluhan Mbak Levi, sahabat kos-ku yang sedang hamil. Mbak Levi pernah mengeluh begini,’’Kira-kira dimana ya besok menguburkan ari-ari anak Mbak ini?,’’ Begitulah kondisi tak ada sejengkal tanah ang semuanya sudah disulap menjadi bangunan.

Begitu masuk ke gang menuju kos ku, harus berjalan pelan-pelan (kalau pakai motor. Karena mobil tak bisa lewat, tak cukup), soalnya jalanan sering dijadikan taman bermain anak-anak kampung. Disini tak ada rumah yang punya halaman. Seringnya, anak-anak ini bermain kelereng ditengah jalan. Kalau ada motor yang lewat, mereka akan teriak-teriak ‘’Hati-hati ya, jangan rusakkan letak kelerengnya’’. Biasanya, kalau motor yang lewat tak sengaja menabrak posisi kelereng, anak-anak hanya bisa menggerutu dan memulai permainan dari awal lagi.

Sekitar 500 meter dari mulut gang, sebelah kiri, adalah pintu masuk ke arah kos-kosan ku. Masih ada gang lagi, kali ini lebih kecil dari yang tadi. Hanya cukup untuk lewat satu motor saja secara bergantian. Letak kos ku di lantai dua. Sebenarnya, lebih tepat di sebut lantai 3. Karena ada dua susunan rumah dibawahnya. Namun susunan yang satu lagi, lebih tepat ku sebut, terletak agak kedalam tanah.

Aku tak ingin membuat strata berdasarkan letak posisi kos-kos an. Tapi untuk lebih jelas menggambarkan, rasanya tetap harus kujelaskan juga mengenai ‘’kelas’’ tak resmi ini.

Pada susunan rumah paling bawah, terdapat enam kamar, tanpa jendela. Hanya pintu kecil biasa. Barisan rumah ini, hanya memiliki satu kamar mandi yang dipakai secara bersama-sama. Ukuran kamarnya sekitar 3X3,5 meter. Bagian depannya, jangankah halaman apalagi jemuran, untuk jalan saja harus satu-satu karena sempitnya. Bahkan cahaya matahari, tidak masuk ke barisan rumah ini, karena bangunannya diapit oleh dinding bangunan lantai 2 dan 3. Karena tidak ada cahaya matahari, alhasil jalanan yang sempit tadi berubah wujud. Jadi jemuran sekalian barisan peralatan dapur. Ada juga yang letakkan peralatan dapurnya di dalam kamar, berhimpitan dengan peralatan tidur. Dibarisan rumah ini, terdapat enam rumah tangga (KK).

Ada sekitar 8 orang anak kecil dibawah usia 10 tahun, tinggal di kos tanpa cahaya matahari ini. Harga sewanya Rp 250 ribu per bulan. Listrik secukupnya. Air bersih ngantri. Kalau siang panas, kalau malam lebih panas lagi. Terkadang penghuni rumah barisan pertama ini, harus memboyong anak-anak mereka, sementara tidur di tangga lantai 2 menuju lantai 3, untuk sekedar mendapatkan udara segar. Kalau si kecil sudah terlelap, baru pelan-pelan dibawa ke 3X3,5 meter tadi. Berbaur dengan suara adukan masakan tetangga atau suara seduhan kopi yang cukup memekakkan telinga. Begitulah kondisi kamar kos lantai 1.

Di lantai kamar inilah, ada seorang Mbak-Mbak, yang aku panggil ‘’Mama Vany’’. Nama anaknya adalah Vany. Makanya ku panggil demikian. Anaknya ada 3. Paling besar umur 9 tahun, terpaksa berhenti sekolah sementara karena diboyong orang tuanya ke Jakarta. Di kampung tidak ada lagi kehidupan, begitu kata Mama Vany, saat ditanya alasannya berani memboyong keluarganya ke Jakarta dari salah satu kota di Jawa Tengah. Bersama suami dan tiga anaknya, Mama Vany jadi tetangga ku yang baik. Mama Vany pula yang membantu membersihkan kamarku, mencuci, menyetrika, menghidangkan secangkir teh panas tiap pagi dan malam saat ku pulang kerja. Ngerokin badan kalau kecapean. Membantu mendorong motor ditempat jalan yang kekecilan dan tiap hari selalu bertanya, apa-apa saja yang kuperlukan. Untuk semua itu, tiap minggu aku memberikan bayaran secukupnya dan ucapan terimakasih sedalam-dalamnya pada Mama Vany. Di kota sekejam Jakarta, Mama Vany bekerja sebagai buruh cuci. Sementara suaminya, bekerja sebagai pemungut bola golf di Senayan. Dari penghasilan pas-pasan itu, mereka menghidupi tiga anaknya dan menyewa kos tanpa cahaya matahari tadi. Meski begitu, sepertinya mereka bahagia.

Di Lantai 2, ada lima barisan kamar, kiri dan kanan. Tempat ini cukup lumayan. Ukurannya sekitar 3X4 meter. Meski sama saja tidak menerima cahaya matahari secara langsung, paling tidak masih bisa sedikit menghirup udara pagi. Pastinya tidak nyaman, karena tetap saja yang banyak terhirup adalah bau gelantungan pakaian yang dijemur atau bau masakan dari barisan peralatan dapur disepanjang jalan depan kamar. Di barisan kamar sebelah kiri, ada dua kamar mandi dipakai untuk umum. Sedangkan dibarisan kamar sebelah kanan, kamar mandinya sudah ada didalam kamar masing-masing. Ada harga, tentu beda. Untuk sebelah kiri, per bulannya Rp 300 ribu. Sedangkan untuk sebelah kanan Rp 400 ribu per bulan.

Di dua barisan kamar ini, semua tetangganya baik-baik, ramah dan bersahabat. Setiap pagi, selalu terdengar sapaan ramah khas orang-orang kampung. Yup, hampir semuanya adalah orang kampung. Merantau ke Jakarta, dengan membawa serta seluruh isi kampung. Anak, adik, sepupu. Bahkan ada yang sudah ngekos di tempat itu hampir 17 tahun!!! Mulai dari si anak baru pandai jalan, sampai sekarang sudah bisa cari kerjaan. Dan pekerjaan si ibu tetap setia jualan ketoprak. Ketopraknya enak. Waktu pertama kali beli, aku dikasi buanyak dan gratis. Tapi tak mungkin aku tak membayar. Bahkan ku bayar dua kali lipat, karena ketopraknya di kasi dua kali lipat pula. Alhasil, setiap pagi si Mbak ketoprak terus teriak-teriak dari depan kamarnya.’’Mbak, mau sarapan ketoprak lagi gak??,’’. Ah, tetanggaku memang baik dan ramah.

Letak kos ku sendiri di lantai 3. Tapi karena posisi bangunannya yang di desain sedemikian rupa (padahal memanfaatkan semaksimal mungkin tekstur tanah oleh si pemilik bangunan), tiap hari aku hanya menaiki satu lantai saja. Di lantai 3 ini, ada empat kamar. Begitu menaikinya, langsung mendapat udara segar. Meski pemandangan tetap saja ke jejeran rumah-rumah ‘’rapat dan kumuh’’ disekitarnya, namun penghuni lantai atas ini mendapat bonus. Bisa melihat pemandangan secuil kota Jakarta. Bisa melihat pucuk-pucuk gedung pencakar langit. Bisa melihat langit biru nan indah. Bisa mendapat cahaya segar, pagi, siang dan sore. Bahkan kalau tengah malam, saat suasana benar-benar sepi, bisa terdengar suara pengumuman pemanggilan taksi dari loby hotel Mulia Senayan. Hotel bintang lima yang cahaya kamar mewahnya, bisa terlihat dari pintu depan kamar mewah ku hehehehe…

Di barisan ketiga ini, posisi kamarku berada paling pojok. Tetangga pertamaku, cowok, masih lajang. Orangnya baik sama tetangga dan ramah sama kucing. Setiap kali pulang kerja, pastinya sama-sama malam, banyak kucing mengikutinya dan dia pasti beri makan semua seadanya. Tetangga kedua ku, sepasang suami istri. Mbak-nya ramah sekali. Kalau ada makanan, sering dibagi-bagi. Karena dapurnya didalam kamar, sering tercium bau masakan yang uenak. Dan kalau malam sepulang kerja, selalu dapat tawaran makanan jadi. Seringnya aku tolak, karena setiap pulang, sering sudah kenyang. Sedangkan tetangga ketigaku, lagi-lagi cowok lajang. Tetangga yang ini, jarang bisa berjumpa. Sama-sama sibuknya.

Setiap kamar di lantai tiga ini, ada kamar mandinya didalam. Semuanya berlantai keramik sederhana. Ada jendela. Luasnya sekitar 3X4. Memang kecil, tapi sangat nyaman. Di depan kamar, tidak ada jejeran kompor atau jemuran. Semuanya bersih dan bisa menjemur di samping barisan kamar. Berbeda fasilitas, beda pula harga. Setiap bulan, aku harus mengeluarkan Rp 500 ribu untuk tinggal di barisan teratas kamar kos-kos an ini.

Si 3X4 ini, pertama kalinya berwarna krem. Cukup kotor. Kata tetangga nomor dua ku, kamar ini pernah dihuni sekitar 8 orang cowok-cowok kuli bangunan. Pantas saja, ada tulisan seperti tanggalan lalu dipojoknya terdapat catatan ‘tanggal gajian’. Lalu ada tulisan ‘ai lov yu’ dengan ejaan bahasa Inggris yang salah total. Ada gambar tengkorak kecil-kecil dan jejak kaki besar-besar di dinding. Ufff, namanya juga bekas kamar kuli. Aku pun merogoh kocek Rp 200 ribu untuk mengecat ulang kamar kecil ku ini.

Akhirnya kamar ku berubah warna. Awalnya ingin warna krem. Tapi tukang cat yang tak lain adalah tetanggaku sendiri, entah atas perintah dari siapa, mengecat kamarku dengan warna ungu. Alhasil, saat masih kerja di kantor, teman kos ku ngirim sms yang bunyinya:’’Selamat ya Af, kamarmu sudah indah dengan warna janda’’. Saat ku pulang, ternyata kamar kuli bangunan sudah berubah manis dengan warna ungu terang. Ah, tak mengapa, meski warna janda tetap saja lebih kelihatan bersih dari kondisi semula. Lagipula, kalo tinggal sendirian gini, memang merasa jadi Janda kok xixixixi…

Dalam si 3X4 ku, di pojok kiri ada kasur seharga Rp 100 ribu. Lantai keramik diberi alas karpet murah meriah warna merah. Kasurnya ditemani bantal dan satu guling. Aku tak bisa tidur kalau tak ada guling. Lalu ada lemari lucu dua pintu tiga lantai warna biru. Disebelahnya rak plastik tiga tingkat untuk meletakkan barang-barang aksesoris pekerjaan dan buku, warna pink. Ada kotak musik warna hitam, yang memutar lagu-lagu kesayangan orang yang ku sayang. Di atas lemari, ada tas hitam besarku waktu bawa baju pindah-pindah dulu dan stik biliar yang dibawa khusus. Sayangnya, hobi ku yang ‘’kontroversi’’ itu, justru jarang tersalurkan lagi. Sudah habis waktu hanya untuk kerja saja.

Di kos seperti ini, suasana ramah selalu menyapa. Meski terkadang aku harus mengurut dada melihat kondisi kehidupan penghuninya. Hidup dengan apa adanya. Hidup dengan seadanya. Hidup dengan tiadanya. Tapi inilah pelajaran berharga tentang Jakarta. Meski hidup dengan makan yang didapat dari kerja seharian, keramahan tak hilang dari sebagian orang-orangnya. Keramahan yang jadi barang langka di Ibukota, bisa ku temukan dari tetanggaku saat ini.

Tadi malam aku dapat cerita lucu, dari teman kos yang juga teman kantorku, Mbak Levi, yang kos-nya lebih elit dari kamar kos ku tapi berada di satu lingkungan juga. Mbak Levi cerita tentang Sasya, anak tetangga kami yang berusia 10 tahun. Si Sasya ini banyak kutu-nya. Mungkin karena lingkungannya yang kurang bersih atau memang jarang pakai sampo. Oleh Mbak Levi, Sasha dibelikan Peditox-Obat pembasmi kutu sebanyak tiga botol. Pesan Mbak Levi:’’Sya, nanti yang satu kasi emak lu, yang satunya lagi kasi nenek lu. Nah yang satunya lagi lu pake ya, seperti make sampo waktu mandi,’’. Waktu itu, pesan Mbak Levi dianggukin oleh Sasya dan dia terus pulang kerumah kos orangtuanya yang terbuat dari kayu.

Eh, gak tau nya pas sore hari, si Sasya kembali dengan wajah lebih ceria lagi. Bukannya bercerita tentang pembasmian kutu, tapi dengan santainya bercerita dengan Mbak Levi:’’Teteh, obat kutunya aku jual goceng (Lima ribu). Seceng (Seribu) aku belikan kapur ajaib. Masih ada sisa empat ribu dah…aku belikan makanan ya teteh?’. Ya ampun, bahkan anak sekecil Sasya bisa hitung untung rugi dan sudah bisa dagang meski modalnya obat kutu hasil pemberian. Hitungan untungnya didapat, karena kapur ajaib yang dibeli Sasya, digunakan buat pengganti obat kutu katanya. Ah, ada-ada saja. Tetanggaku, dari kecil sampai dewasa berpikir soal mencari sedikit keuntungan buat menyambung hidup.

Meski tempatnya kecil, dipenuhi tetangga yang kerjanya lebih banyak pengangguran atau serabutan, aku tetap senang. 3X4 diantara bilangan kehidupan, jadi tempat berteduh di antara kesepian pada kampung halaman. Justru dari tempat sekecil ini, aku menemukan sisi lain Jakarta yang tidak kutemukan di balik tembok-tembok raksasa. Diantara kepongahan orang-orang di mall mewah atau kantor elit, masih ada yang ramah menanyakan kabar dan menyediakan segelas teh di pagi hari. Aku masih bisa temukan anak-anak bermain kelereng atau rebutan bola kaki plastik. Aku masih bisa lihat tikus dan kucing berkeliaran. Aku masih bisa merasakan kampungku di Ibu kota.***

(The Jakarta City-April '10)

0 komentar: