Senin, 06 September 2010

Bali...!

(Cerita dibawah ini bukan fiksi. Aku mendadak jadi benci Bali)

Bali. Bukan pengalaman pertama kalinya. Kota yang namanya lebih dikenal dunia daripada nama negara Indonesia ini, saat ku datangi lagi, masih tetap sama. Eksotik dengan pantainya. Eksotiknya dengan budaya lokal yang terjaga. Eksotik dengan detak, riak dan cerita leak-nya. Meski sudah berkali-kali, mungkin inilah kali pertama aku punya waktu menulis sedikit tentang Bali. Bukan karena aku suka menulis. Tapi aku terpaksa harus menulis. Daripada bengong mandangin bule-bule nyaris bugil, mending aku ‘’menggerayangi’’ laptop mungil tuil tuil kesayanganku. Yang meskipun lemot tetap hot…

Ditawari tiket gratis pulang pergi Jakarta-Bali. Saat liburan akhir pekan yang kena hari terjepit nasional alias harpitnas, plus akomodasi, transportasi dan pastinya bukan nginap di hotel ecek-ecek. (Mengenai proses dapatnya darimana, maaf rahasia). Kalo dapat tawaran langka begini, godaan macam manapun, rasanya dikesampingkan sedikit.

Sekalian niatnya buat nenangin diri. Maklum aja, sejak nemu calon pacar, sampe jadi pacar, trus jadi calon tunangan, trus tunangan and sekarang siap-siap mo ke pelaminan, semuanya hanya dalam waktu dua bulan!!! www.grasa-grusu.com. Benar-benar menguji adrenalin sampai buat panas dingin.
Meski dulu pernah punya target nikah muda, tapi tetap aja gak nyangka, semuanya bakal secepat ini. Terlebih lagi, deadline menikah, datangnya bersamaan dengan deadline nyelesaikan kuliah Pascasarjana yang sudah molor dari ketentuan. Sampai-sampai kena sindir dosen waktu seminar tesis; ‘’Wah, Mbak Afni, sudah lama ya kita tidak ketemu. Rasanya hampir tiga tahun dari jadwal seharusnya?!? (Uh Dasar! Padahal kan cuma molor tiga bulan Pak Dosen…Insert wajah:memelas. Hiks!).

Jujur saja, tingkat kerontokan rambut meningkat 30 persen lebih gara-gara persiapan pernikahan. (Gak perlu diekspos kali ya gimana sekarang sisa rambutnya.). Dengan semua yang menyesakkan dada, lahir, batin, and jujur nyiksa kantong (karena harus PP terus Jakarta-Pekanbaru), gak butuh waktu lama untuk nguiiiiiiing….nyampe deh di Bandara Ngurah Rai, Pulaunya dewa-dewa. Yihaaa, Baliiiiiiiii…I am coming again…

Aku punya kebiasaan kalo sampai ke kota ini. Selalu berhenti beberapa detik menyaksikan pemandangan perdana setiap kali turun dari pesawat. Waaah..Pantai Kuta, begitu indahnya. Mandangin pantai sambil senyum-senyum depan pesawat (karena tak ada tulisan dilarang narsis). Dengan lokasi bandara yang lintasannya berada persis di pinggir pantai, siapapun yang menginjakkan kaki di kota ini, akan langsung terkesima. Keindahan pantainya, meski tak bisa mengalahkan indah pantainya Leonardo Di Caprio dalam film The Beach, tapi tetap saja memberi nuansa berbeda. Sesaat melupakan kesumpekan kota Jakarta, yang tiap hari memberiku sarapan pagi dan sarapan sore dengan menu yang sama. Macet goreng atau macet Kuah. Alias macet saat panas terik rik rik rik atau macet saat hujan deras ras ras ras. Aneh, jarang ketemu cuaca berawan di Jakarta. Entah kenapa.

‘’Welcome to Bali’’. Tulisan di pintu masuk kedatangan domestik membuatku senyum-senyum sendiri. Fiuuuuhhh, padahal aku nyaris saja ketinggalan pesawat. Lagi-lagi, ini pengalaman pertama kali sebegitu tolol plus bego plus bodohnya di bandara. Ceritanya begini: Dalam reservasi tiket, dijadwalkan aku berangkat dari Soekarno Hatta Jakarta ke Ngurah Rai, Bali, pukul 09.35 WIB. Hari itu, karena bertepatan dengan jadwal libur kerja (tepatnya sih meliburkan diri), maka jadwal sudah kususun sedemikian rupa.
>> Bangun tidur jam 05.30 WIB. Sholat subuh 7 menit. Berdoa pada tuhan 5 menit. Tidur lagi 30 menit. Bangun dan mengumpulkan nyawa abis tidur 5 menit. Mandi 10 menit. Siap-siap 15 menit. Bercengkrama dengan anak tetangga 5 menit. Naik ojek dari rumah ke Blok M sekitar 25 menit. Blok M ke Bandara pakai Damri sekitar 45 menit. Akhirnya aku sampai di bandara sekitar pukul 08.55 WIB. Kulihat jadwal di tiketku. ‘’Ah, jadwal pesawat kan 09.35 WIB’’.

Pikiran itu membuat aku berjalan santai ke meja check in. Dengan santai pula keluar lagi beli roti. Sempat haha-hihi sama penjualnya yang lumayan ramah plus cakep (ups, maaf honey). Sempat beli buku bacaan. Beli koran. Sempat berantem ecek-ecek dengan tunangan via telepon. Lalu masuk lagi sambil godain seorang anak bayi bule yang lucu dan seterusnya dengan santai duduk-duduk di ruang tunggu baca buku.

Sampai akhirnya terdengar suara cempreng yang memekakkan telinga, ‘’Bali, Bali. Denpasar Baliiiiiiiiiii. Denpasar Baliiiiiiiii.’’ Ah mengganggu saja. Kucari arah teriakan yang menyebut-nyebut nama kota tujuanku itu. Setelah celingak-celinguk sambil mencari arah suara, aku baru sadar kalau ruang tunggu sebegitu sepinya and gak seperti biasanya. Aku seolah baru tersadar dari mimpi. Mengumpulkan kekuatan buat berpikir jernih. Ya tuhan, jam 09.35 WIB itukan jadwalnya pesawat meninggalkan landasan (take off) dan bukannya jadwal penumpang masuk pesawat. Dengan separuh menahan malu sambil takut-takut, aku akhirnya mendekati si Mbak petugas penerbangan yang suaranya sudah separuh nyawa teriak-teriak dari tadi.’’Mbak, saya penumpang mo ke Bali’’ (dengan suara pelan dan senyum semanis-manisnya pada si Mbak tadi).

Dan benar saja, si Mbak yang berparas ayu itu mendadak jadi bermuka teroris. Senyum manisku tak laku. Wajah cantik si Mbak langsung mengkerut dalam. Memandang kearahku, seolah ingin menelan bulat-bulat. Sepersekian detik, merasa ditampar-tampar lewat matanya. Alisnya yang sudah dibabat habis dan diganti pensil alis, tertarik kuat ke atas. Suaranya yang tadi cempreng semakin terdengar lebih cempreng karena semakin dekat di telinga.’’Gimana sih Mbak, dari tadi kemana saja? Pesawat udah mau berangkat. Sudah last call. Hanya tinggal menunggu Mbak aja nih, soalnya sudah check in…bla..bla..bla..bla..Busyeeeeeet dah. Bukan marahnya yang buat aku kesal. Tapi marah-marah depan umumnya itu. Sumpah malu.

Sepanjang pintu exit waiting room sampai ke pintu pesawat, akhirnya dapat tambahan agenda mendengar ‘’ceramah dadakan’’ dari si Mbak bermuka teroris tapi manis itu. Dengar nesehatnya tentang prosedur penumpang naik pesawat. Tentang jadwal terbang dan tata tertib ini itu. (Mungkin dia nganggap aku pertama kali naik pesawat kali ya). Hampir naik darah juga sih. Tapi begitu memasuki pesawat dan semua mata seolah tertuju padaku (hiks), akhirnya rasa kesal dan marah itu tertelan dengan wajah-wajah marah dan kesal para penumpang pesawat yang sudah duduk manis. (Mana duduk di bangku belakang lagi. Mungkin muka ku mirip Gayus Tambunan waktu turun di Bandara usai pulang dari plesiran di Singapura. Kira-kira begitulah saat melewati satu persatu kursi penumpang).

‘’Taksi Mbak?’’. Lamunanku tentang tragedi kebodohan jadwal penerbangan berakhir dengan sapaan seorang supir taksi. Badan tinggi, kulit putih, ada kumis, tersenyum manis. Tak lupa ada bunga khas Bali di telinga kirinya. Sesaat kulihat merk di bajunya. Ehmmm, merk sebuah perusahaan taksi terkenal. Karena merasa track record taksi itu cukup bagus di Jakarta, aku pun langsung buka pintu. Saat sudah di dalam taksi eh si supir tak mau nyalain argo alias maunya main tembak kuda minta bayaran lima puluh ribu rupiah. Rasanya saat itu mau turun saja. Tapi kok rasanya malu. Apalagi persis diluar pintu taksi, ada penumpang satu pesawat, yang tadinya memasang muka cemberut sambil menggerutu-gerutu padaku. Gawat, gak boleh dua kali berturut-turut mempermalukan harga diri nih.

‘’Jauh gak sih pak hotelnya? Kata teman saya hotelnya cuma dekat. Masa lima puluh ribu. Nyalain argo aja pak,’’. Aku tetap berusaha melakukan negosiasi. ‘’Lumayan Mbak kalau jalan kaki. Jauh juga lho Mbak’’ kata si supir tetap mempertahankan harga. Akhirnya aku nyerah juga. Mungkin aja si supir ini benar, cukup jauh. Aku berusaha bernegosiasi dengan diriku sendiri. Mencoba berpikir positif.
Akhirnya taksi jalan pelan-pelan meninggalkan bandara. Putar balik di U turn menuju pintu keluar bandara sekitar tiga menit. Lalu belok kiri sekitar 15 meter. Trus belok kanan. 10 meter kemudian, mendadak taksi berhenti.’’Sudah mbak, sudah sampai. Ini hotelnya’’. Waaaaaaa.. negosiasi kepercayaanku pada si supir langsung tercabik-cabik, karena ternyata yang dimaksudkan si supir, jarak antara bandara dengan hotel tempatku menginap, dekat sekaleeeeeee.. Bahkan dari depan hotel, bisa dengar pesawat take off and landing. Ingin rasanya ku maki-maki si supir taksi. Tapi hati kecil ku menenangkan diri sendiri.’’Sudahlah afni, ambil positifnya saja. Kalau jalan kaki memang lumayan kok, apalagi kalau ngesot!’’.
Akhirnya ku ikhlaskan juga uang biru itu melayang ke supir taksi yang sok ganteng pakai kacamata hitam itu. (Akan ku hafal wajahmu kelak pir…kalau ke Bali lagi, amit-amit ketemu kamu lagi).

Hotel lumayan. Ada air panas. Persis depan kolam renang. Sangat nyaman tapi yang gak enak, adalah sendirian. Tak ada kegiatan selain malas-malasan di kamar. Untung ada fasilitas wifi. Bisa ngutak ngatik lembar kerja (ternyata aku baru sadar, aku benar-benar orang gila kerja. Bahkan tiap melakoni liburan inisiatif sendiri seperti ini, merasa berdosa sama tempat kerja. Ujung-ujungnya, tetap berusaha bekerja meski jarak jauh).

Rencana mau lihat sunset di Pantai Kuta batal. Karena di kamar hotel jauh lebih menyenangkan. Lagian kalau liat sunset, mana enak sendirian. Dan sering banyak godaan lihat si perut kotak-kotak berseliweran (xixixi…). Apalagi persis depan kamar, bisa dapat pemandangan indah juga daripada ke pantai. Bule-bule cakep pada mandi sambil cekakak-cekikik. Akupun cekakak cekikik dari jauh meski gak ngerti…(Upss..aduh sory lagi ya honey).

Siang berganti malam. Dengan setengah hati, karena memikirkan rugi kalau tak jalan-jalan, akhirnya makan malam juga di Jimbaran. Tempat makan khas seafood di tepi pantai Kuta. Langsung milih ikan-ikan yang masih hidup, dimasak tumis uenak. Sambil makan, ngobrol asyik dengan teman yang nemu di jalan.

Ditengah obrolan santai ditemani deburan ombak pantai (Jiaaah..romantis cuy), si teman asli Bali tadi bercerita tanpa di minta, tentang menjadi saksi hidup tragedi bom Bali I dan Bom Bali II. Persis di tempat kejadian, katanya dia nolongin bule berdarah-darah. Meski ceritanya mengiris-ngiris hati sekaligus berdarah-darah, syukurnya tak mengganggu selera makan. Soalnya lapar.

Malam itu, tak ada yang istimewa dilakukan. Biasanya kalau ke Bali, malamnya pasti begadang. Pernah suatu ketika, menghabiskan malam di Bali dengan pergi luluran sama teman seperjalanan. Kami beri judul: Merem melek tengah malam hehehehe…tapi kali ini, tidak ada semangat buat jalan ke tengah kota. Tidak ada semangat buat nimbrung duduk di café-café liatin bule. Tak ada kegiatan selain sesaat ngenet di kamar. Nonton tipi layar datar di kamar dengan channel film perang-perang. Selamat tidur…
----*****-----

Ternyata, tak selamanya liburan itu menyenangkan. Terlebih lagi kalau sendirian. Sampai jam 10.00 WIB waktu Bali (beda 1 jam sama Jakarta), aku benar-benar dibuat bingung mau ngapain. Usai breakfast yang tak tau jenis makanannya apa, aku memilih jalan kaki ke tepian pantai Kuta. Waaaaaaah, masih sama indahnya.

Tapi lagi-lagi, untuk pertama kalinya, aku benar-benar merasa kesepian ditengah keramaian. Gak tau mau ngapain. Mau main di tepian pantai, siapa yang mau jagain tas. Meski sudah buruk rupa, tas ku adalah segala-galanya dan tidak boleh kena air (isinya ada laptop kesayangan, tiket pulang, paspor yang baru jadi, dompet, tanda pengenal, bukti pembayaran kos, catatan wawancara, alamat narasumber, gunting kuku dari tunangan, kacamata keren meski murahan sampai foto ama tunangan and sahabat-sahabat di Pekanbaru). Apalagi aku datang liburan kali ini memang cuma bermodal tiket, baju dua pasang, tas dan sepatu kets.

Tak mau ambil resiko kehilangan harta berharga, akhirnya ku pilih saja nyewa tikar dipinggir pantai. Harga sewanya, Rp 20 ribu sampai puas. Ku beli koran, minuman dan makanan. Baru sesaat baca-baca buku, ngantuk mulai menyerang. Deburan ombak dan belaian angin pantai Kuta, benar-benar membuat penyakit cacinganku kambuh. Ngantuk yang luar biasa. Inginnya sih main di pantai, atau sekedar godain cowok-cowok cakep mumpung masih menggadis, tapi Zzzz..zzz…hoam..am..aku ngan..Zzzzzzzzzzzzzzzz….

Eeeh, eh..eh, sesaat baru terlelap, kok tiba-tiba seperti mendengar lagu pantai yang syahdu ya? Kaki terasa hangat. Enak. Lelah seperti terserap dengan sentuhan pelan. Seperti ada yang meremas-remas kakiku. Menjalar rasanya ke seluruh tubuh. Ya ampun, aku kan sedang tiduran di pantai?!? Dengan setengah terkejut, akhirnya aku terbangun. Dan ternyata, rasa hangat tadi berasal dari pijatan seorang ibuk-ibuk paruh baya.
‘’Lho buk, ngapain mijitin kaki saya?,’’ tanyaku. Si Ibuk yang memakai kain samping khas Bali dengan senyum manisnya lantas berkata,’’Gak apa-apa non, biar saya pijitin ya,’’. Seterusnya aku seperti mendengar bunyi orang jualan obat.’’Pijitin di pantai itu enak lho non, badan segar. Senang ya di Bali? Kapan sampainya? Gak apa-apa coba dulu pijitan saya. Kalau gak enak boleh tidak bayar kok,’’. Waaaah, gawat nih, aku pun berusaha mengelak untuk dipijit yang katanya boleh dicoba dulu (seperti makanan aja). Tapi si Ibuk tetap aja maksa dengan jurus timur sampai jurus barat. Hingga akhirnya aku terpaksa luluh juga begitu si Ibuk tadi bilang,’’Tolonglah non, jadi penglaris saja buat saya. Dibayar setengah saja deh non. Saya baru keluar pagi ini cari rezeki. Kasi seikhlasnya saja buat bayar setoran hari ini,’’. Aduuuuh, ini nih kalimat melas yang gak bisa membuat aku menolak.

Akhirnya si Ibuk ku izinin mijetin kaki, tangan dan badanku. Aku mulai menikmati setiap pijitannya sambil memandang pantai. Tapiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiii….lagi-lagi aku harus makan hati. Rasanya baru saja memulai, si Ibuk langsung mengakhiri.’’Sudah non,’’ Whaaaaats?? Padahal si Ibuk itu baru mijitin aku tak sampai 15 menit. Mau tak gak berapa dia minta bayaran??? Rp 100 Ribu..!!!!
‘’Lho buk, katanya tadi saya boleh mencoba dulu. Katanya bayar setengah saja. Katanya kalau tak suka boleh gak bayar. Gimana sih buk, kok baru sebentar saja udahan?,’’ protesku. Rasanya wajar aku protes, tukang pijit di kos ku, dibayar Rp25 ribu mijetin sampai puaaaas! Eh, protesku hanya dijawab santai si Ibuk,’’Memang segitu harganya mbak disini,’’. Wah, kalau sudah nemu kalimat ’memang begitu disini’, aku biasanya ngalah saja. Sebagai tukang jalan ke berbagai daerah baru (masih dalam negeri di tanah air), aku selalu junjung tinggi ‘Dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung’. Meski dongkol setengah matang sama tukang pijit yang licik itu, akhirnya kuberikan juga uang kertas merah itu. Benar-benar liburan yang menyebalkan.

Jam menunjukkan pukul 14.00 WIB. Pesawatku berangkat pukul 21.45 WIB. Aku tak boleh terlambat lagi ke Bandara. Karena aku tak mau ada kejadian tolol bin bego bin bodoh yang memalukan seperti saat berangkat dari Jakarta. Sisa waktu yang ada, ku buat untuk cari tempat makan. Frenchise ayam goreng kesenanganku kali ini terasa berbeda. Karena aku harus ngantri bersama bule-bule yang ‘maaf’ bertelanjang dada saja. Bahkan ada bule cewek yang ngantri makanan cuma pakai ‘sekali lagi maaf’ CD dan Bra saja. Benar-benar merasa bukan di Indonesia. (Catatan: Indonesia sebagai negeri dengan muslim terbesar di dunia, gak berlaku tuh di Bali hehehe)

Pulang dari pantai, awalnya tidak ada agenda belanja-belanja. Rencana pernikahan yang datangnya bagai tornado dengan kecepatan tidak terhingga, ditambah lagi harus berhemat demi hidup di perantauan ibukota, membuat aku tak berniat sama sekali buat belanja-belanja. Lagipula, salahsatu hal yang tidak aku suka adalah shopping. Maklum, aku bukan perempuan biasa (Ceileeee…yang ini pasti lebay.com)

Tapi semua niat tadi langsung buyar, saat ingat calon kakak ipar yang baik hati. Ingat tunangan yang selalu memberikan kejutan-kejutan menyenangkan, ingat sahabat-sahabat yang selalu mendukung, ingat kakak sepupu yang sudah seperti ibu sendiri, ingat si ini, ingat si itu, dan akhirnya semua berakhir dengan nilai tagihan…*&#^$Rp%#Rp..@*$^$((……….(Duh, sepertinya harus pulang cepat-cepat ke Hotel trus ke Bandara. Gak berani lihat isi dompet yang sudah tinggal beberapa lembar saja. Hiks..hiks..)

Inilah rekor sampai di Bandara paling cepat. Pesawat jam 21.45 WIB tapi sudah di Bandara sejak jam 18.00 WIB (aku sudah bertekad dan bersumpah dalam hati, tak akan terjadi lagi hal memalukan hampir ketinggalan pesawat). Liburan kali ini benar-benar tidak menyenangkan. Kemana-mana sendirian. Seperti orang bodoh yang kelimpungan di negeri orang. Untung aja aku nginap di hotel elit dan pakai sepatu kets yang cukup keren. Kalau tidak, mungkin aku sudah dibilang orang tersesat yang kere (meski memang aslinya kere bukan keren). Aku sampai pada kesimpulan: Trauma liburan ke Bali, kalau sendirian! Lagunya Slank pun terngiang-ngiang, I Miss U but I Hate You…

Gara-gara kecepatan ke Bandara, aku sampai waktu check in pesawat belum dibuka. Setelah menunggu beberapa jam, barulah waktu check ini dibuka. Aku penumpang pertama yang melaporkan diri (pertama kali pula sebegitu rajinnya). Sambil menunggu pesawat yang akhirnya delay hingga pukul 22.30 WIB, aku kembali menggerayangi laptop mungil, yang jadi sahabat setia diperjalanan.

Rasanya begitu lega begitu duduk di dalam pesawat. Begitu take off, terlihat lampu-lampu kota Kuta begitu indah nian.’’Selamat tinggal Bali. Selamat tinggal dewa-dewi. Kalau ku kembali ke kota ini, aku akan hati-hati lihat jadwal tiket pesawat, hati-hati naik taksi dan hati-hati dengan tukang pijet yang ngalahin renterir. Aku tak akan datang sendiri lagi. Tak akan!’’.

Catatan akhir pekan yang tak berkesan
At Pulau Dewata@Last March ‘10

0 komentar: