Sabtu, 04 September 2010

Melaut di perang yang salah...

Aku punya sulaman kisah. Kisah ini telah lama ku asah, kusimpan dalam kamar resah
Ditemani lilin sunyi, diatas peraduan sepi sendiri.
Mungkin, seperti sepinya Adam tak punya pendamping di surga. Lalu bermohon dia pada tuhannya dalam ratapan. Mungkin seperti resah sunyi Zulaika, memandang tampannya wajah Yusuf, budak setianya. Lalu memaksa melebur kehormatan dalam angkuhnya pengkhianatan.

Bermula dari semilir mimpi meraih bulan. Aku berjalan menyusuri lautan keinginan.
Kata mereka ''Jangan! nanti kau tenggelam sebe lum ketepian,''
Tapi mau ku, menuntut tentukan sikap. Apakah aku meraja pada dunia? dunia yang tak anggap aku ada. Atau aku berani mengambil belati lalu mati bunuh diri, dengan status mati tak punya mimpi?
Ah...ku pilih ke laut saja, biar pun nanti ku hanyut
Karna ku tahu, laut hidup tak pernah kenal surut

Diantara nasib, diantara takdir, diantara hari akhir. Aku mengukir, diantara nanah berdarah nyawa sebiji, yang kurangkai sendiri. Aku pun memilih hidup. Hidup bermula dari redup. Kadang aku tak lagi mengerti, bagaimana cara tertawa mengukir senyuman. Tak lagi memahami, seperti apa menangis dalam ratap harap, keluarkan bulir sungai airmata. Bagiku, luka dan bahagia, sama saja. Pagi hari kubangun dengan impian, lalu sambut malam dengan ketakutan. Selalu begitu hari ku. Ketidakpastian.

Lalu kubiarkan sehelai nyawa ini hanyut, kelaut hidup
Aku mulai merengkuh caranya angkuh. Aku mulai melaknat nikmat dalam lumat tersurat
Aku pun mengelilingi dunia, dengan lika liku laku luka
Tanpa ekspresi, peduli ku tak sekalipun pada ratap penahan langkah
''Apa yang kau mau?''.''Aku mau hendak, tanpa gentar, tanpa pagar. Aku ingin liar!,''.

Aku jelajahi hati dalam keasyikan, dibawah puja puji pengurai mimpi jadi kenyataan. Kugores nadi, hilangkan kitab yang pernah kubawa ke surau. Bernyanyi dalam rentak hingga parau. Hingga risau. Setajamnya pisau, aku menjemput maut. Maut hidup. Maut laut. Pantang Surut. Hanyut.

Gemintang bintang, cemerlang ku bagai elang melayang. Senyap, lenyap, hi lang. Melintasi tandusnya kegersangan hati yang malang. Ternyata, dalam riuh, aku terenyuh. Tersungkur tanpa boleh mengaduh. Ternyata dalam genderang perang, aku prajurit tak bersenjata. Terpanah dalam perang yang salah. Aku menang untuk genderang tak berdendang. Mereka pun menawanku dalam penjara, sambil berkata; ''Terimalah, engkau kalah Sayang...''.

Aku pun akhirnya mencari kata penyelamat muka. Kurangkai kembali perahu mencari makna. Dalam serat-serat sisa redup, aku menata kembali arah. Tanpa pasrah. Tanpa nyerah. Tanpa malu, tanpa bisu. Aku susun langkah, tanpa sendu.

Jauh sudah aku melaut, ternyata benar tak pernah ku temukan tepian kehidupan
Namun kini telah kupilih berhenti, tak lagi jatuhkan sangkar dilautan dalam tak pasti
Ku pilih saja khianat pada sumpah yang jadikan jiwa ini sampah
Ku pilih saja mendendam, dalam tingginya kemaafan

Lalu kubiarkan,
perahu berkilau intan itu hanyut melaut ke air hidup tak surut
Telah kupilih sampan kayu, untuk mengejar rindu. PadaMU...***

0 komentar: