Rabu, 15 September 2010

Saya merasa harus menulis ini..

Saya memang suka menulis. Sehingga kadang-kadang, semua hal kecil yang menurut sebagian orang tidak penting untuk ditulis, tetap saja saya tulis. Terkait dunia tulis menulis, saya sangat terinspirasi dengan (Alm) Pamanda saya tercinta, CH Rhofiq, yang menjadi sahabat terbaik selama hampir 4 tahun saya kuliah di kota Malang-Jawa Timur dulu.
Abah (panggilan saya buat Paman), meninggalkan warisan terbaik buat anak-anaknya dan buat saya seorang keponakan yang pernah menumpang hidup dirumahnya. Warisan itu berupa kumpulan catatan perjalanan hidupnya, sejak masih remaja sampai beberapa hari menjelang beliau meninggal dunia.
Catatan yang ditulisnya mulai dari sehat hingga menulis dalam kondisi terbaring sakit itu, memuat berbagai angle tulisan. Tulisan tersusun mulai dari tulisan tangan, ketikan mesin tik kuno sampai ketikan komputer. Mulai dari cerita tentang sahabat masa kecilnya, cerita tentang kelahiran anak pertama, sampai cerita tentang mahasiswa yang membuatnya bangga.
Saat menemani Abah terbaring sakit dan kadang menjadi sekretarisnya menuliskan ide tulisan, beliau pernah berkata pada saya.’’Af, kamu yang sabar ya menemani saya. Karena tulisan-tulisan ini adalah warisan saya nantinya. Saya tidak meninggalkan harta buat anak cucu saya. Saya hanya punya tumpukan buku dan tulisan-tulisan saya itu buat mereka,’’.(Duh, saya merindukanmu Abah)
Kini, warisan Abah berupa tulisan-tulisan perjalanan hidup-nya itu, menjadi warisan terbaik, penuh inspirasi dan tersimpan rapi dalam satu lemari sangat besar untuk dibaca tujuh turunan. Dan saya terlanjur iri hati, untuk bisa melakukan hal yang sama. Kata Abah (lagi), suatu hari tulisan yang kecil itu, mungkin akan membuat kita tersenyum disaat seharusnya menangis dan mungkin menjadi sesuatu yang luarbiasa dari panjangnya cerita hidup kita yang biasa-biasa saja.


Baiklah, kali ini yang akan saya tulis adalah tentang hari-hari menjelang pernikahan. Saya bahkan masih tak percaya, akhirnya saya akan menikah juga xixixixi…

Saya akan menikah dalam hitungan hari lagi (Semoga Allah swt mengasihi saya dan keluarga kami untuk tidak memberikan cobaan menjelang pernikahan ini. Amin). Kebetulan saya terlahir memiliki darah Melayu, dan dalam adat istiadat budaya Melayu diatur tata cara menikahi seorang anak perempuan memiliki banyak tahapan-tahapan. Kami sudah melalui rangkaian tahapan pertama.
Pada tanggal 5 Januari 2010, keluarga calon suami saya melaksanakan acara Merisik. Merisik dalam budaya melayu adalah tahapan dimana keluarga calon mempelai laki-laki datang kerumah keluarga calon mempelai perempuan. Tujuannya untuk saling berkenalan antara dua keluarga yang sebelumnya belum saling mengenal. Pada moment inilah, keluarga calon mempelai laki-laki mengutarakan niat untuk datang melamar wanita tercantik yang baik hati dan budinya untuk dijadikan istri seumur hidup anak laki-laki mereka (Wah, narsis banget ya nulisnya…Maaf, itu hanya perumpamaan hehehe..).
Aku pun dilamar sesuai adat budaya Melayu tanggal 7 Januari 2010 sekitar jam 7.30 malam. Keputusan untuk datang melamar ini setelah kami pacaran sekitar tiga bulan. Saya dan calon suami, baru berkenalan dan memutuskan untuk berkomitmen tanggal 13 Oktober 2009.
Karena kesibukan kerja yang tak bisa ditoleransi dan demi efesiensi waktu, acara lamaran dilaksanakan di Pekanbaru (terimakasih buat kakak sepupu-ku tersayang yang memiliki ide brilian melaksanakan acara tunangan dirumahnya saja). Saat lamaran inilah, kedua calon pengantin dipertemukan dan saling mengikat janji dalam sebuah ikatan pertunangan. Saat pertunangan ini, kedua calon pengantin saling bertukar cincin sebagai tanda ikatan tak boleh diganggu (Duh, jadi ingat lagu dangdut cuy…).
Tapi tidak seperti acara pertunangan ala selebritis di tipi-tipi, yang memakaikan cincin dalam acara pertunangan kami ini adalah perwakilan dari keluarga. Cincin pertunangan dijari saya disematkan oleh Bunda dan cincin pertunangan buat calon suami disematkan oleh Mak Cik (Bibi) saya.

Saat itu, calon suami saya yang agak modern itu layak untuk gigit jari, tak diperkenankan menyematkan cincin langsung ke jemari manis saya yang putih mulus aduhai malam itu huahahahaha…
Meski saya terlahir di negeri Raja-Raja dan memiliki darah asli anak Siak Sri Indrapura, yang menjadi pusat Melayu-nya Provinsi Riau, saya harus akui, bahwa saya tidak begitu memahami adat istiadat dalam arti yang sebenarnya. Bukan karena saya sok modern lalu melupakan adat istiadat para leluhur. Tapi mungkin saya terpengaruh dengan kata-katanya Gus Dur: ‘’Gitu aja kok repot?!?’’.
Meski dulunya pernah jadi Duta pertukaran pelajar kebudayaan Melayu Se-Sumatera, saya tetap tak mau bermain-main dengan adat istiadat tanah kelahiran saya sendiri. Maka untuk urusan pernikahan, saya serahkan seluruhnya pada keluarga besar.
Namun meski tidak begitu memahami adat istiadat, saya tahu dan saya paham, bahwa pernikahan di negeri ini adalah sangat sakral. Saya ingat pelajaran budaya Melayu waktu dulu masih SD. Kata Guru saya kala itu, setiap pernikahan di tanah Melayu, ibarat pernikahan anak cucu Sultan. Ada adat yang tak boleh dilanggar. Karena itulah, tanah kelahiranku disebut negeri berpantang. Negeri yang banyak larangan-larangannya. Itulah sebabnya pula, saya katakan pada calon suami:’’Sayang, kita ikuti saja semua aturan yang dibuat keluarga.’’.
Maka setelah bertunangan hampir 5 bulan, akhirnya kami masuki tahapan kedua menjelang pernikahan. Dalam adat istiadat Melayu dinamakan acara Hantar Belanja. Kalau lebih familiar lagi disebut acara Seserahan. Agendanya adalah keluarga calon pengantin laki-laki datang kerumah calon mempelai wanita sambil membawa berbagai barang seserahan. Seserahan ini dibeli oleh calon suami untuk calon istrinya. Mulai dari peralatan kosmetik, uang buat biaya nikah sampai aksesoris kamar pengantin lengkap. Saat inilah aku berpikir, wah senangnya jadi calon pengantin perempuan di negeri Melayu, bisa kaya mendadak dapat barang-barang baru dari calon suaminya hehehe….(Tapi jangan sesekali bilang orang Melayu matre ya. Sekali lagi, ini sudah menjadi rangkaian adat)

Saat mengantar seserahan inilah, bukan hanya menyatakan keseriusan akan menautkan dua keluarga besar, tapi juga ditetapkan dan diumumkan kepada tetangga dan kerabat dekat mengenai tanggal pernikahan sesuai kesepakatan sebelumnya. Katanya sih, bertujuan agar lebih menautkan dua calon keluarga dan tidak menimbulkan fitnah. Tapi menurutku sih, tujuan acara ini sekalian buat pengumuman sama tetangga. Kira-kira begini yang aku bayangkan bunyi pengumumannya:
‘’Wahai tetangga-tetangga dan kerabat-kerabat, sebentar lagi dirumah ini akan ada acara besar. Tolong dibantu ya buat masang tenda, mengurus tamu dan masak-masak makanan’’ (Sambil bayangin wajah Ayah dan Ibu-ku yang stres mau menikahkan anak perempuan mereka satu-satunya, xixixixixi…..)
Jadi begitulah, pada tahapan kedua menjelang pernikahan ini, saya harus memutar otak dengan kecepatan ekstra. Lebih cepat dari biasanya saat harus liputan dilokasi yang mengancam jiwa. Karena saat acara tersebut, saya bekerja di Jakarta. Sedangkan keluarga calon suami yang asli Jawa Tengah itu berada di Pekanbaru. Sementara itu, untuk acara hantaran belanja menjelang pernikahan, harus dilaksanakan di rumah tempat saya dibesarkan, yakni di Kota Siak Sri Indrapura. Benar-benar ‘’Segitiga’’ yang mematikan perasaan tenang..!
Setiap hari menunggu jadwal acara hantaran belanja, membuat saya di Jakarta setengah emosi jiwa. Karena selama ini saya selalu sibuk mengurusi acara keluarga dan selalu ada kekhawatiran, adakah keluarga yang bersedia mengurusi rangkaian pernikahan saya? (Padahal pastilah ada. Cuma sindrom khawatir ini sudah masuk stadium empat).
Tiap hari juga, saya selalu menghabiskan banyak pulsa hanya sekedar untuk bertanya pada calon suami di Pekanbaru dan juga bertanya kesiapan keluarga di Siak. Saya hanya ingin pastikan, semua berjalan secara sempurna. Because This is my wedding…! (Ckckckck, bangganya saya mengatakan itu euy…narsis lagi yak..)

Acara seserahan saya, dilaksanakan Minggu, 6 Juni 2010. Saya bangun tidur jam 08.00 WIB pagi karena malamnya begadang di bundaran Hotel Indonesia (HI) di Jakarta, karena menemani seorang teman yang datang dari Pekanbaru. Waktu bangun tidur, saya langsung ingat ‘’Oh My God, ini adalah hari seserahan pernikahan saya’’. Saya langsung telepon calon suami dan dapat berita, rombongan sudah berangkat menuju rumah saya di Siak Sri Indrapura.

Maka mulailah saya dengan kepanikan dan kebiasaan sok mengatur (kata Ibu, sifat sok mengatur ini sudah sejak saya masih dalam kandungan). Saya menghabiskan waktu seharian ditempat tidur sambil memegang dua handphone. Saya telpon ke Siak, ke Hp Ibu, Hp Abang, Hp Adik, Hp Kakak Ipar sampai Hp Paman, HP bibi, Hp teman dan syukur-syukur gak nelpon ke Hp tetangga. Semua itu hanya untuk menanyakan: ‘’Sudah siapkan protokol acara? Konsumsi buat tamu? Soundsystem acara? Undangan? Makanan pembuka? Listrik nyala atau mati? Sampai nanya hal-hal gak penting lainnya yang membuat abang saya emosi jiwa. Wajar saja abang saya ngamuk-ngamuk ditelepon dan bilang saya cerewet, karena pasti semuanya sudah disiapkan sesempurna mungkin. Katanya: Dasar sok ngatur! (Hiks..!).
Itu belum seberapa, karena hampir setiap saat pula saya menelpon calon suami hanya untuk bertanya bagaimana persiapan perdana keluarganya menuju kampung kelahiran saya. Tentunya saya ingin semua berjalan secara sempurna. Karena setau saya, kesan pertama harus menggoda (Gila iklan nih).
Rombongan keluarga calon suami yang merupakan keluarga besar Universitas Lancang Kuning (Unilak) Pekanbaru datang dengan menggunakan bis kampus. Demi efesiensi waktu, satu keluarga-nya sepakat menggunakan satu mobil itu saja. Mungkin setiap 3 Km/jam, saya menelpon calon suami untuk memastikan tidak terjadi apa-apa pada rombongan mereka hehehehe…
Saya kadang bertanya hanya untuk hal-hal tidak penting. Tapi tidak seperti abang saya yang ngamuk-an, calon suami saya sedikit lebih sabar meski kata-katanya cukup menyakitkan karena mengatakan,’’Udah, kamu tenang saja di kos itu sendirian. Semua persiapan acara disini sudah disiapkan. Selamat menikmati sendirimu di Jakarta ya,’’. Duh, kata-kata yang menusuk hingga ke sum-sum tulang.(Hiks, sedihnya tak bisa berbaur dengan keluarga. Gimana lagi, waktu cuti kerja belum tiba)

Dan akhirnya apa yang saya khawatirkan benar-benar terjadi.
‘’Mobil mogok’’ sms calon suami itu membuat jantung saya sakit perut (kok bisa ya?). Jelas saja saya panik, karena bis kampus yang katanya masih baru itu, dan didalamnya membawa keluarga calon suami, calon ponakan plus Pak Rektor Unilak dan keluarganya itu, mogok hanya berjarak tak begitu jauh dari tempat acara. Bukan hanya saya yang panik, keluarga yang sudah menunggu dengan ratusan tamu dari tetangga dekat dan kerabat, jelas ikutan panik juga (So, wajarkan kalau saya nelpon teyussssss….?!?).
Setelah diakali sekian waktu, akhirnya dilakukanlah transit perpindahan mobil. Duh, jantung benar-benar berdetak tidak karuan. Tapi lagi-lagi, calon suamiku mengatakan dengan entengnya:’’ Gak apa-apa, kita akan mengingat moment ini untuk seumur hidup kita. Lagipula, kamu panik atau tidak panik, akhirnya tetap akan lancar-lancar juga’’.
Begitulah, meski sedikit ada hambatan, akhirnya acara seserahan menjelang pernikahan saya itu sukses juga. Saat ikrar dua keluarga berlangsung, saya tengah berada di kamar kos yang mungil di belantara Jakarta, sedangkan calon suami harus ikhlas menunggui supir memperbaiki bis rombongan yang mogok di belantara jalan yang sebenarnya.
Acara hantar belanja berlangsung meriah di rumah, tanpa kehadiran kami berdua. Memang itu sesuai adat (katanya), dimana calon pengantin tidak boleh dipertemukan dulu. Tapi menurut saya, ini tetap saja lucu. Kami memang tidak bertemu, tapi bukan hanya karena adat melainkan juga karena takdir dan kesialan Wakakakakaka……
Catatan:
Aku sungguh ingin tertawa, waktu calon suamiku ditelepon berkata:’’Huh, waktu mobil mogok dan dua mobil keluargamu datang menjemput, hanya saya yang ditinggal dan harus ikhlas menemani supir karena mobilnya udah gak muat lagi. Kata mereka, saya gak harus hadir ditempat acara. Saya pun berada dipinggir jalan, kepanasan dan kelaparan ditengah hutan sambil menunggui supir memperbaiki bis. Waktu bis-nya sudah benar dan akhirnya saya sampai juga kerumahmu, Eh acaranya sudah selesai. Tamu-tamu udah pada pulang semua. Tinggal keluargamu saja, itupun kebanyakan tidak mengenal saya sebagai calon suamimu karena memang tidak diperkenalkan. Mungkin mereka berpikir, jangan-jangan saya kernet bis yang mogok tadi (Huahahahaha…Mungkin itulah karma buatmu sayang, karena tadinya menertawakan saya sendirian di Jakarta….)

***______***
Ini bukan catatan penting bagi banyak orang. Tapi sangat penting bagi saya menjelang pernikahan (Mana tau saya punya anak dan cucu seperti Alm Paman saya itu). Jadi bila tulisan ini dinilai tidak layak memberi hiburan untuk dibaca, saya merasa tidak perlu untuk meminta maaf. Tapi bagi yang sudah terlanjur membacanya, maka saya minta bayaran, yakni mohon doa semoga di acara pernikahan saya nanti, semuanya berjalan sesuai rencana. We all be Happy….:)

0 komentar: