Senin, 06 September 2010

Aku anak Siak...

(Ini sekilas cerita masa kecil-ku, cita-cita kecil-ku dan impian kecil-ku)

Ketika Ibu mengaduh merintih. Hanya ada dukun. Itupun terlambat datang karena terlebih dulu harus menembus hutan dan kuburan. Mak dukun membawa sesaji tanpa alas kaki. Ditengah gelap gulita kampung peninggalan Raja-Raja, waktu kelahiranku hanya sebatas rekaan semata.

’’Entahlah Nak, kapan persis waktunya. Mak Dukun datang terlambat karena hari gelap. Saat sampai di tangga pintu, teriakan pertamamu sudah terdengar keras. Kalau tak salah, di seperempat purnama tengah malam. Cuma itu yang Ibu ingat’’.

Aku terlahir hanya sebagai anak kampung biasa. Mak dukun membasuh tubuh merahku pertama kalinya dari tampungan air sungai. Siak Sri Indrapura, nama kampungku. Dulunya pusat kerajaan Raja-Raja penakluk negeri. Bukti digjaya kerajaannya berdiri gagah dan megah hingga kini.

Inilah Kerajaan Siak, tanah kelahiranku. Kisah negeri yang bermula dari Raja Kecik menuntut bela kematian ayahnya, Sultan Johor. Sang Putra Mahkota akhirnya memilih mengalah saja dengan mengikuti alur sungai daripada membunuh saudara mara. Aku pun tumbuh besar mengikuti arus sungai tiada bertepi itu. Pasang surutnya itu telah pun aku rasakan sendiri. Jadi saksi.

Saat pagi, anak-anak bertelanjang kaki menuju sekolah kayu hampir rubuh. Berbaju sekolah lusuh. Mengais pengetahuan. Diajarkan mimpi-mimpi tentang dunia. Menjadi ‘’katak-katak’’ yang ingin keluar dari tempurung. Para murid berhitung, gunakan lidi bila tak cukup tangan dan kaki. Bersama Guru tanpa baju dinas, mengeja tulisan di papan kayu penuh lubang dimakan rayap. Guru kadang pulang sebelum waktunya.’’Memanen getah di hutan sebelum hujan’’. Kami paham.

Saat pulang dari sekolah, kami berlari mengejar aliran air. Mandi telanjang di keruhnya air sungai Jantan (nama Sungai Siak awalnya). Diantara gelak tawa tanpa busana, berebut kayu balak yang terbawa hanyut. ‘’Berenanglah Nak ketengah sungai…Buaya tak akan memakan darah anak cucu Raja’’. Kami pun tergelak terbahak-bahak diantara kayu-kayu balak. Memecah air sungai yang keruh. Bertabuh-tabuh menyeluruh basuh di tubuh.

Balak-balak besar itu diberi tanda, biar tak diambil anak tetangga. Setiap hari, kayu bulat yang dianggap kapal hebat itu dibuat rakit untuk berenang. Setiap tual nya bagai hasil jarahan. Hasil jajahan. Seperti hulubalang yang menang perang. Tampil garang sambil berteriak lantang.’’Woi sodare, dengarkan titah hamba. Kayu balak ini sudah bertande naga. Jangan berani sesekali kalian buang sauhnya. Padah akibatnya!,’’. Aku menahbis diri jadi Panglima perang kapal balak kayu. Tanpa baju.

Sesekali ‘’saat istirahat jadi Panglima perang’’, berubah wujud jadi prajurit di tepian sungai kala surut. Berlari mengejar ikan tembakul. Saat air pasang datang, mengumpan ikan di bawah jamban kayu berpintu satu. Jamban bersama satu kampung. Persis dibawahnya, anak-anak bertelanjang dada telah pun menunggu. Menunggu ikan Juaro masuk perangkap.
Soal perangkap ikan di jamban ini, ada baiknya aku berkisah sedikit. Atuk Alang, tetanggaku yang tua renta sering mencak-mencak. Tak pernah jadi pergi ke jamban karena banyak anak-anak. Entah menunggu apa?....(Sebetolnye saye tau jawabnye. Tapi tak pantas pulak rasenye tulis kat sini, ape yang saye dan kawan-kawan tunggu di bawah jamban kayu. Saye yakin pembace akhirnya akan same-same tau. Maklomlah pembace…kami cume anak kampong biase. Maaf lah Atuk Alang…Ikan Juaro tak nak mendekat kalau tak diumpan).
Masih teringat jelas, saat matahari sudah menuju peraduan, para ibu memanggil anaknya pulang.’’Cepat balek nak, banyak plesit. Nanti dicubit hantu magrib,’’. Tubuh berbekas biru-biru dan si Ibu mengemas setiap lubang di rumah dengan bawang putih dan air garam. Kami pun berucap, Selamat datang gelap.
Tak ada lampu putih. Cahaya lampu temaram didapat setelah dipompa beberapa saat. Hanya lampu minyak memakai kain yang dibakar. Sudah pun lupa aku namanya kini. Karna tak dijual lagi dipasar loak sekalipun. Barang langka.
Kami mengeja ayat-ayat dari kitab di tengah gelap. Berbaur suara jangkrik begitu jelasnya. Bercampur angin sungai. Sesekali suara-suara dari hutan memanggil membuat menggigil.’’Jangan mengintip keluar Nak, mungkin saja anak babi atau anak Datuk menjenguk ujung kampung’’. Datuk berbelang, sudah menjadi cerita kami sehari-hari. Itulah Harimau hutan. Anak-anak kampung tepian sungai, sudah hafal pertandanya.
Saat mentari dilumat malam, kami tak menyentuh tanah sama sekali. Hanya di depan kitab dan buku tanpa televisi. Listrik tak masuk-masuk ke kampung kami. Hanya berani keluar di malam hari raya. Memainkan meriam bambu yang dirakit sejak dulu. Berperang dentuman dengan anak seberang. Riuh rendah diantara rentak detak malam. Sahut-sahutan dari satu kampung ke kampung lainnya seiring alunan suara takbir. Di tepian sungai Siak, lantunan dzikir mengalir.
Suatu ketika kata orang kampung, tak perlu bersusah payah kami bersekolah. Masih banyak hutan untuk di babat buat rumah kayu. Masih banyak yang bisa dipancing sambil memainkan seruling. ‘’Masih ada ikan yang menanti dibawah jamban buat di umpan’’. Begitu kata tetua. Begitu juga kata Atuk Alang, meski dia sendiri sulit untuk pergi ke jamban.

Tetapi apa kata mereka, tetap didayung juga sepeda ontel bersama saudara. Jauh membelah hutan. Mengemas keringat tanpa penat. Selalu ada cerita tentang mimpi. ‘’Ada kapal yang lebih hebat dari kapal kayu balak. Lebih dari sekedar menjadi Panglima. Berjuanglah. Ini perang!,’’. Kupilih bersekolah tiada henti.

Tiada henti. Merajut mimpi. Menyulam keyakinan seiring pasang dan surut sungai. Hingga menjelma akhirnya kampungku menjadi kota besar kini. Aku sungguh tak iri. Meski jamban kayu sudah berubah menjadi turap batu. Meski kapal perangku sudah berubah menjadi lautan arang. Aku tak tunjukkan garang.

Semua sudah berubah memang. Tak ada lagi ikan tembakul. Tak ada lagi anak sungai berenang menjaga perbatasan sungai. Tak ada lagi hutan. Tak ada lagi kuburan yang tak bertanda. Tak ada lagi darah anak cucu raja yang berani menantang berenang ketengah sungai Jantan. Tak ada lagi garang meriam bambu berperang dengan anak seberang. Tak ada lagi tangisan di perempat bulan purnama. Semua anak terlahir sudah bertanggal. Dukun yang datang dengan sesaji tanpa alas kaki, sudah kehilangan kerja kini. Tak ada lagi Datuk berbelang…semua sudah hilang.

Aku sudah merasakan getas kerasnya arus sungai Siak. Aku sudah merasakan gelap pekatnya jalanan kampung kelahiranku saat kubelah masih tanah. Aku pernah merasakan aroma darah Raja-Raja menjaga tahta dan harga jiwa. Dan aku tetaplah aku yang dulu. Anak kampung yang kini terus meraih asa dan mimpi menjadi panglima.

Biarlah tak ada lagi meriam bambu, tanpa baju ataupun jamban kayu. Saat semua menari-nari, aku masih akan tetap berdiri berlari. Aku yang terlahir bahkan tanpa sempat dibantu Dukun, tak akan pulang kini bila hanya jadi penyamun. Aku ingin lebih dari sekedar jadi panglima perang kapal kayu balak!
-----------------------------------

31 Januari 2010

0 komentar: